Pernyataan Soe Hok Gie Dan
Mahasiswa Pencinta Alam
(Seri Dinamika Kepencintaalaman Indonesia)
Pernyataan dibawah ini
disampaikan Soe Hok Gie melalui sebuah media cetak nasional, usai melakukan
pendakian di gunung Slamet tahun 1969; Pernyataan tersebut adalah cermin
tingkat kesadaran dan kecerdasan Soe Hok Gie sebagai seorang mahasiswa pencinta
alam dalam berbangsa dan bernegara.
Soe Hok Gie telah menjawab
mengapa mahasiswa pencinta alam mendaki gunung serta meletakkan visi mahasiswa
pencinta alam (mpa) Indonesia. Melalui pernyataan ini, tersirat menjadi contoh
bagaimana menjadi mahasiswa pencinta alam yang sebenarnya, terutama dalam
konteks psikologis, berbudaya, bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Kami jelaskan apa sebenarnya
tujuan kami, Kami katakan bahwa :
Kami adalah manusia – manusia yang tidak percaya pada slogan Patriotisme tidak
mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan – slogan Seseorang hanya dapat
mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya Dan mencintai tanah
air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya
dari dekat Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula
pertumbuhan fisik yang sehat Karena itu Kami naik gunung.
Analisis pernyataan Soe Hok Gie
1. Kami jelaskan apa sebenarnya
tujuan kami
Kata Kami, menunjukkan Soe Hok
Gie beserta teman – teman pendakiannya ke gunung Slamet (1969).
Kata Kami, merujuk pada Mahasiswa
Pencinta Alam (MPA) Indonesia; karena Soe Hok Gie juga adalah Mahasiswa
Pencinta Alam (MPA). Cobalah anda baca pernyataan diatas dengan mengubah kata
Kami dengan kata Mahasiswa Pencinta Alam (MPA) Indonesia.
Kata Jelaskan, menekankan bahwa
MPA harus “menyampaikan sesuatu, jangan diam”, bicara kepada mereka,
masyarakat, bangsa dan Negara tentang apa dan siapa MPA Indonesia?
Kata apa sebenarnya, menegaskan
tentang sesuatu (apa) dan ada banyak hal yang benar tetapi hanya satu yang
benar (sebenarnya); Beragam pemikiran komunitas MPA Indonesia tetapi hanya satu
yang benar.
Kata Tujuan, menegaskan bahwa
kehadiran MPA Indonesia memiliki cita – cita yang luhur dan hari esok yang
jelas bagi masyarakat, bangsa dan Negara Indonesia.
Kata Kami, dua kali disebutkan
pertanda ada “semacam kemarahan” yang mendalam; Perlu diketahui bahwa sebelum
Soe Hok Gie mendaki ke gunung Slamet, beliau sempat ditanya dengan nada sinis
“untuk apa beliau mendaki gunung” .
2. Kami adalah manusia – manusia
yang tidak percaya pada slogan
Kata Kami, menunjukkan Soe Hok
Gie beserta teman – teman pendakiannya ke gunung Slamet (1969).
Kata Kami, merujuk pada MPA
Indonesia.
Kata adalah, menekankan adanya
batasan (definisi) tentang jati diri MPA Indonesia?
Kata Manusia – Manusia,
dituliskan lebih dari satu kali (ditulis sebanyak dua kali) mengandung
kemarahan / penegasan; pertama, menegaskan bahwa MPA Indonesia itu adalah
manusia (bukan Batu, bukan Pepohonan, bukan binatang dan bukan Sekedar Bentuk
Manusia); MPA Indonesia itu adalah Manusia yang sesungguhnya Manusia; Manusia
Ciptaan Allah SWT yang memiliki kesadaran tentang fungsi manusia, yakni
memberikan manfaat bagi kehidupan di muka bumi. Kedua, jumlah MPA Indonesia
sangat banyak dan semuanya adalah Manusia.
Kata Yang tidak percaya pada,
menyampaikan bahwa MPA Indonesia merupakan komunitas yang berpikir (memiliki
akal pikiran); sehingga dapat membedakan hal yang patut dipercaya (baik) dan
hal yang tidak patut dipercaya (buruk).
Kata Slogan, secara vulgar
berarti hanya bicara saja; Menjelaskan tentang pemerintahan pada saat itu
(sifat manusia) yang tidak konsisten atau tidak sesuai antara ucapan dan
tindakan.
3. kata Patriotisme tidak mungkin
tumbuh dari hipokrisi dan slogan – slogan
Kata Patriotisme, menjelaskan
tentang jiwa kepahlawanan; Didalam diri manusia terkandung sifat dasar
kepahlawanan, yakni sifat saling membantu dalam urusan kebaikan.
Kata Tidak mungkin tumbuh dari,
menjelaskan bahwa sesuatu akan tumbuh (misalnya bibit pohon berkualitas) jika berada
di lahan (sistem) yang subur (baik, kondusif) serta memperoleh perawatan (pupuk
dan air) yang tepat. Tanpa itu semua maka tidak akan mungkin tumbuh pohon
patriotisme.
Kata Hipokrisi dan slogan –
slogan, kebohongan (hipokrisi) dan inkonsistensi (slogan) merupakan sesuatu
yang kontra produktif.
4. kata Seseorang hanya dapat
mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya
Kata diatas menjelaskan bahwa
kekuatan seseorang dalam mencintai sesuatu (objek) sangat tergantung pada
kekuatan pengenalan terhadap objek tersebut. Tetapi, seseorang tidak akan
pernah memiliki kekuatan pengenalan yang baik jika seseorang itu tidak mengenal
dirinya secara baik.
Seseorang dapat dikatakan sehat
jika sigma quotient dirinya Nol. (PQ + IQ + EQ + SQ = 0).
Dalam konteksnya menggambarkan
situasi bangsa (pemerintahan Indonesia) pada saat itu. Banyak birokrat yang
tidak dapat melihat, mendengar dan merasakan penderitaan sebagian besar rakyat
Indonesia dan banyak birokrat tidak mengenal Tanah Air Indonesia. Apakah MPA
Indonesia akan seperti itu ?
5. Kata Dan mencintai tanah air
Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari
dekat
Kata diatas merupakan
pengembangan dari kata sebelumnya.
Dalam konteksnya Soe Hok Gie
memberikan advis dan solusi.
Kata diatas menjelaskan mengenal
Indonesia (sebenarnya telah inklud dengan rakyatnya; tetapi Soe Hok Gie ingin
menekankan pada aspek rakyatnya) harus lebih diutamakan rakyatnya; kata secara
dekat, lebih kearah jiwa rakyat Indonesia; sehingga sikap mencintai kepada
Tanah Air dapat tumbuh (dan bukannya sikap mencintai diri sendiri atau kelompok
sendiri) Perlu untuk direnungi bahwa situasi Indonesia saat ini, sulit
menemukan orang Indonesia.
6. Kata Pertumbuhan jiwa yang
sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat
Kata Pertumbuhan menunjukkan
sesuatu yang berproses (belum final) hingga tiba saatnya; Pertumbuhan berarti
tidak mati dan atau tidak juga pengkerdilan.
Kata Jiwa yang sehat, lebih
mengarah kepada aspek IQ, EQ dan SQ yang pintar.
Kata Pemuda, mengisyaratkan bukan
kanak – kanak (yang suka merengek jika keinginannya tidak dipenuhi); Pemuda
bukan kaum jompo yang tidak dapat berbuat apa – apa; Pemuda adalah kaum yang
kuat dalam suatu perubahan; Menguatkan yang lemah, memperbaiki kekeliruan orang
– orang terdahulu.
kata Harus berarti, menunjukkan
sesuatu yang sama pentingnya.
Kata Fisik yang sehat,
menjelaskan bahwa tidak cukup hanya IQ, EQ dan SQ yang pintar; tetapi variabel
fisik yang pintar (Smart Physical Quotient) tidak boleh diabaikan.
Sebgai pelengkap, seseorang dapat
dikatakan cerdas jika seluruh Quotient variable – nya pintar; dan disebut
seseorang dikatakan sehat jika sigma quotient varabel – nya sama dengan nol
(balance).
7. Kata Karena itu Kami naik
gunung
Kata Karena, menunjukkan upaya
jawaban terhadap akar masalah.
Kata Naik Gunung (kini populer
dengan istilah mendaki gunung), sampai di titik ini ada banyak pertanyaan
kontemplatif, yakni : Mengapa ke gunung ? mengapa bukan ke gua atau ke laut ?
Apakah terkait dengan kemampuan teknis yang dimiliki Soe Hok Gie ? Apakah jika
Soe Hok Gie memiliki adventure Rock Climbing Skill maka ia akan menulis karena
itu kami “memanjat tebing ? Saya yakin, Soe Hok Gie akan tetap memilih Gunung
dan tetap menggunakan kata Naik (bukan mendaki). mengapa ? :
a. Kata Naik lebih bersifat universal dan familiar.
b. Kata Gunung, memiliki sejarah yang panjang dan sangat dekat dengan kehidupan
manusia (selain gua dan laut).
Gunung memberikan signal dari
suatu kedudukan yang tinggi dan mulia tetapi dengan hati yang rendah.
mengapa kisah perjalanan
Rasulullah Muhammad SAW berlangsung dari bukit (gunung) Jabal Nur ke Gua Hira ?
keterkaitannya pada mengapa Gua (cave) tidak termasuk dalam klasifikasi
Mountaineering ?
Dan pada saat kiamat nanti, Allah
SWT mengangkat gunung – gunung dan mesjid- mesjid (bukan bangunan mesjid)
Masih banyak nilai gunung
lainnya, dan dari titik ketinggian gunung Soe Hok Gie dapat membaca banyak
peristiwa.
Bacalah, Karena Alam Adalah
Tempat Belajar Yang Baik
Alam ini tertera banyak ayat
bahkan segala sesuatunya, dalam alam tersebar banyak utusan bahkan apapun itu,
yang artinya ada berlimpah ruah pelajaran mengenai hakikat, yang setiap itu
melekat pada makhluk ciptaan-Nya. Hanya saja ada kesadaran yang begitu sulit
ditemukan dalam diri ini. Bacalah, karena alam adalah tempat belajar yang
baik.
Kadang saya membayangkan
kehidupan sebagai seekor semut hitam. Sosok makhluk kecil yang didalam banyak
ayat menganalogikan sesuatu yang memiliki kemungkinan paling kecil untuk
disadari, bahwa dia (seekor semut hitam) yang berada diatas batu hitam kelam
dalam pekatnya malam, tak akan lepas dari kesadaran seorang yang menyadari “Diri”-nya.
Pagi ini saya (semut hitam), kembali
melakukan rutinitas sehari-hari; keluar dari sarang setelah sepanjang hari
beraktivitas memenuhi banyak kebutuhan akan makan dan banyak lagi
keinginan akan libido, sangat senang berinteraksi dengan kawan-kawan sesama
semut hitam, berjabat-bercengkrama sebarang waktu, kedua antena menggiring
ketempat dimana ada makanan, jika badanku sedikit besar lagi mungkin akan
kuangkut juga sepiring makanan, entah senyawa apa yang menarikku berjalan
kesana-kemari, modus bekerjaku mangikuti naluri, jika sekali hajat ku
terancam akan kugigit, akan kugigit, dan akan kugigit, karena seringkali ku
terancam oleh pemegang-pemegang kekuasaan, misalnya manusia, tapi mungkin
lebih tepat kusebut dengan – binatang lainnya yang jauh lebih besar– yang
katanya makhluk paling tinggi derajatnya, namun seringkali kudapati tidak
demikian. Saya sangat instinktif, hingga saya kembali lagi kesarang, dan
mempersiapkan diri untuk rutinitas esok hari, yang seperti itu lagi, dan yang
tak kusadari.
Entah apa yang menarik
perhatianku padamu sang sosok semut, hingga ketika kau menggigitku berakhir
pula rutinitasmu itu. Gigitanmu menyadarkan pada waktu yang kurasa begitu cepat
berlalu, yang ternyata tak bersandar pada pagi, siang ataupun malam, atau pada
detik-detik jam dinding, yang kutahu hanya pertanyaan akan kesenangan apa lagi
yang ingin dan belum kulakukan, tuntutan dunia apa lagi yang harus kupenuhi,
hingga kau datang menggigitku.
Ini berarti: pencarian kembali
makna lestari, jika kerusakan lingkungan hanyalah lahan gersang tak subur,
pencemaran lingkungan oleh limbah industri ataukah hanya penebangan hutan
secara ilegal. Terlebih lagi diriku hanya mendaki, mendaki, dan mendaki puncak
gunung. Karena, dalam diri ada cara pandang dan kesadaran yang sungguh
gersang, dalam diri ada limbah yang mengalir dalam setiap ucapan tak
bertanggungjawab, dalam diri ada tindakan amoral yang seringkali diwajarkan.
Karena yang kudaki hanyalah ego-ego yang hanya mengantarkanku pada puncak egosentris.
Lihatlah megah makna lingkungan,
jika begitu eksklusif-nya menjadi sang “pencinta” dan “alam”-lah yang ingin
dicinta. Mencari makna hidup dalam keterasingan diri dalam sokongan daun lontar
sementara gambaran jagad raya ini begitu luas, tak terhingga, tak terjangkau,
yang ungkapan-ungkapan itu hanyalah keterbatasan khayal yang manusia miliki.
Bahwa setiap kita yang terdalam
tak memiliki alasan untuk mengingkari kemungkinan keberadaan semut kecil hitam
diatas kelamnya batu hitam dalam pekatnya malam.
Kesadaran itu ada dalam alam
malam, dan bahwa setiap kita memiliki semut kecil hitam yang tak kita sadari
yang mempertanyakan kehidupannya diatas batu hitam kelam. Yang menjalankan
kehidupannya dalam ketak-sadaran diri, kehitaman diri diatas batu hitam. Malam
menjadi hilang diri karena menyatu bersama batu yang hitam. Batu menjadi samar
karena malam melingkupi dan menyatu. Apalagi kau, sang semut yang tercipta
hitam dilingkupi namun tak menyadari, menyatu namun mengingkari. Siapa yang menanggung
keadaan itu? Semut yang hitam? Alam yang hitam?
Menyadari ketakterbayangkannya
alam ini (kosmologi), akan sedikit membantu kita dalam kesahajaan tindakan,
ucapan dan pemikiran (cara pandang). Namun, hal itu bukanlah hanya sebentuk
gagasantranscendental yang berakhir pada rangkaian kalimat logis menggugah
hati yang rindu, lantas mengawang diudara menguap bersama bunyi-bunyi yang
melalui rongga, tak beda dengan kentut busuk. Bahwa menyadari kosmos yang maha
luas, berarti menjadi gelisah akan kosmos diri yang begitu dalam.
Inilah Kami; Sikap Socrates
Terhadap ‘Sophis’
Socrates
Di dalam sejarah filsafat
dijelaskan bahwa 5 abad sebelum masehi terdapat sekelompok intelektual yang
dalam bahasa Yunani disebut dengan ‘sophis’ yang bermakna hakim atau ilmuan. Kelompok
ini selain memiliki pengetahuan yang cukup luas terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan pada zamannya, mereka juga berkeyakinan bahwa tidak ada sama sekali
hakikat dan pengetahuan yang bersifat tetap. Mereka berpendapat bahwa tidak ada
pengetahuan yang bisa memberikan keyakinan dan makrifat secara pasti. Kerja
mereka adalah mengajarkan metode diskusi dan seni dalam berdebat. Mereka
melahirkan banyak pengacara untuk membolak-balik fakta yang ada di sidang
pengadilan. Mereka mahir membuat kebatilan menjadi kebenaran atau kebenaran
menjadi kebatilan. Oleh karena pekerjaan mereka adalah mengajarkan orang-orang
bagaimana jatuh dalam kesalahan berpikir, akhirnya suatu saat perlahan-lahan
mereka sendiri jatuh dalam kesalahan berpikir tersebut sehingga sampai pada
suatu tahap mereka berkeyakinan bahwa tidak ada hakikat atau realitas dibalik
pemikiran manusia.
Perjalanan sejarah kemapalaan tak
bisa kita lepaskan dari satu nama, ‘Gie’, sosoknya begitu anggun dalam fantasi
nakal entitas muda Indonesia kala menggeliat kepanasan diatas ranjang malam
pertamanya ketika menjadi pengantin identitas kemahasiswaan. Kelakarnya tak
dapat kita jumpai lagi dijaman ini. Namun, ‘buah pengetahuan’-nya kini adalah
prima yang menolak jadi penyebab bala. Petantang-petenteng apa yang pernah
didirikannya. Warisan Prajnapramita-nya kini hanya menjadi berhala, ‘Gie’
menjadi tumbal dari semua itu, namun Ia tak akan dibebankan dosa atas apa yang
tak pernah Ia nazarkan. Karena berhala Mapala semestinya telah hancur bersama
ka’bah yang telah menjadi rumah ibadah. Mapala adalah rumah ibadah.
Akhirnya kata ‘sophis’ yang
bermakna ilmuan tidak lagi dipakai dikarenakan kata itu lebih dilekatkan pada
orang-orang yang terjebak dalam kesalahan berpikir atau orang-orang yang
mengingkari realitas.
Sekarang, sebelum berakhir zaman
ini, jauh setelah zaman ‘Gie’ terdapat pula sekelompok pemuda yang kita kenal
dengan Mapala. Kelompok ini selain memiliki pengetahuan yang cukup luas
terhadap teknik kegiatan alam bebas dan slogan-slogan pelestarian alam, mereka
juga berkeyakinan bahwa patriotisme akan timbul dengan mendaki puncak-puncak
tertinggi di Indonesia, bahkan dunia. Kerja mereka adalah pengeksplorasian alam
bebas. Handal dalam metode bertahan hidup dialam bebas, tangguh terhadap
tantangan-tantangan alam yang setiap saat mengancam, lincah dan ahli dalam
setiap reduksi pengelompokan objek alam bebas yang kini lebih nampak seperti
berbagai cabang olahraga. Mereka melahirkan banyak penyembah berhala untuk
membolak-balikkan fakta, menjadi alim ulama yang terjebak dalam diri yang ujub
karena takjub dalam pembenaran kegiatan alam bebas yang termaktub sebagai
ibadah. Kini tampak seolah kebatilan menjadi kebenaran atau kebenaran menjadi
kebatilan. Oleh karena sistem pendidikan mereka adalah mengajarkan orang-orang
bagaimana selalu jatuh dalam hasrat, hasrat menindas dalam ketertindasan,
hasrat diri dalam petualangan ketersesatan diri, hasrat kuasa diatas kejumawaan
kaki puncak trangulasi, namun segala itu tak ada implementasi terhadap apa yang
dimaknai sebagai pecinta, cinta serta alam yang dicinta -alam ibarat perempuan
yang dicintai dengan cara disetubuhi-, akhirnya suatu saat perlahan-lahan
mereka sendiri jatuh dalam kesalahan tersebut sehingga sampai pada suatu tahap
mereka berkeyakinan bahwa tidak ada sistem pendidikan yang lebih baik dan
sesuai dengan karakteristik alam yang kejam dan tak mengenal ampun ini, alam
yang begitu rumit dan keras ini, alam yang begitu berbahaya dan unpredictable ini, selain
sistem yang telah ada sekarang. Bukankah semestinya nama-nama keindahan dan
ketakjuban kebesaran alam-lah yang juga menghiasi sistem pendidikan itu, bukan
sebaliknya.
Dalam menghadapi skeptisisme ini
Socrates adalah tokoh pertama yang bangkit menentangnya dengan menyerang
pandangan-pandangannya. Socrates menyebut dirinya ‘philosophos’ yang berasal
dari pecinta (phylos) dan hikmah (sophia).
Sejarah filsafat mencatat bahwa
alasan Socrates menamakan dirinya ‘philosophos’ dikarenakan dua hal.Pertama, karena
beliau rendah hati dan mengakui akan ketidaktahuannya mengenai sesuatu. Kedua,kritikannya
pada kelompok skeptis pada masa itu yang menamakan dirinya kaum ‘sophis’ dimana
kelompok ini muncul hanya untuk kepentingan materi dan politik.
Inilah kami; sikap atas
pertanyaan apakah ‘organisasi lingkungan hidup’ yang kami sandang hanyalah
kedok atau sebaliknya adalah perjuangan idiologi. Namun, sikap ini bukanlah
suatu bentuk penegasian terhadap yang lain, melainkan menegaskan ‘diri’ bahwa
kami adalah satu bentuk tertentu yang lain.
Dua orang yang berderma terhadap
fakir miskin takkan bisa kita hukumi perbuatan baiknya, melainkan pribadi
masing-masing orang tersebut, yang menggantungkan perbuatan amalnya pada niat
tertentu. Karena kita tampaknya sama, orang-orang yang memuaskan hasrat akan
petualangan alam bebas dengan mendaki gunung, namun pemaknaan ini membuatnya
betul-betul berbeda. Ada ribuan kemungkinan niat yang secara badihi lalu
mewujud dalam satu tindakan yang sama. Ada amal derma yang berlandaskan
pengakuan orang lain terhadap dirinya atau paling tinggi Ia ada atas
pengharapan akan balasan lipat ganda materi yang telah didermakannya -persis
lipat ganda uang ala babi ngepet- dan ada pula yang menafikan diri sehingga
amal tersebut semata-mata menjadi karunia Tuhan yang mengalir melalui dirinya.
Kedua kemungkinan tersebut sangatlah subjektif.
Harapan terbesar ada dalam sistem
pendidikan organisasi, layaknya Socrates terhadap Plato, Plato terhadap
Aristoteles, mereka terhadap Al- Farabi, Aristoteles terhadap Avicenna, Plato
terhadap Syaikh Isyraq, hingga ke Shadr Al-Muta’allihin kepada setiap keyakinan
wahdatul wujud.
“Alam adalah tempat belajar yang
baik.”
(hasil diskusi di Balao -Balai Galao)
Asal Mula (Sekret OLH MAHESA), 29 April 2012
When Nature Can Answer
Bacalah, karena alam adalah
tempat belajar yang baik..
Alam ini tertera banyak ayat
bahkan segala sesuatunya, dalam alam tersebar banyak utusan bahkan apapun itu,
yang artinya ada berlimpah ruah pelajaran mengenai hakikat, yang setiap itu
melekat pada makhluk ciptaan-Nya. Hanya saja ada kesadaran yang begitu sulit
ditemukan dalam diri ini. Bacalah, karena alam adalah tempat belajar yang
baik.
Kadang saya membayangkan
kehidupan sebagai seekor semut hitam. Sosok makhluk kecil yang didalam banyak
ayat menganalogikan sesuatu yang memiliki kemungkinan paling kecil untuk
disadari, bahwa dia (seekor semut hitam) yang berada diatas batu hitam kelam
dalam pekatnya malam, tak akan lepas dari kesadaran seorang yang menyadari “Diri”-nya.
Pagi ini saya (semut hitam),
kembali melakukan rutinitas sehari-hari; keluar dari sarang setelah sepanjang
hari beraktivitas memenuhi banyak kebutuhan akan makan dan banyak lagi
keinginan akan libido, sangat senang berinteraksi dengan kawan-kawan sesama
semut hitam, berjabat-bercengkrama sebarang waktu, kedua antena menggiring
ketempat dimana ada makanan, jika badanku sedikit besar lagi mungkin akan
kuangkut juga sepiring makanan, entah senyawa apa yang menarikku berjalan
kesana-kemari, modus bekerjaku mangikuti naluri, jika sekali hajat ku
terancam akan kugigit, akan kugigit, dan akan kugigit, karena seringkali ku
terancam oleh pemegang-pemegang kekuasaan, misalnya manusia, tapi mungkin
lebih tepat kusebut dengan – binatang lainnya yang jauh lebih besar– yang
katanya makhluk paling tinggi derajatnya, namun seringkali kudapati tidak
demikian. Saya sangat instinktif, hingga saya kembali lagi kesarang, dan
mempersiapkan diri untuk rutinitas esok hari, yang seperti itu lagi, dan yang
tak kusadari.
Entah apa yang menarik
perhatianku padamu sang sosok semut, hingga ketika kau menggigitku berakhir pula
rutinitasmu itu. Gigitanmu menyadarkan pada waktu yang kurasa begitu cepat
berlalu, yang ternyata tak bersandar pada pagi, siang ataupun malam, atau pada
detik-detik jam dinding, yang kutahu hanya pertanyaan akan kesenangan apa lagi
yang ingin dan belum kulakukan, tuntutan dunia apa lagi yang harus kupenuhi,
hingga kau datang menggigitku.
Ini berarti: pencarian kembali
makna lestari, jika kerusakan lingkungan hanyalah lahan gersang tak subur,
pencemaran lingkungan oleh limbah industri ataukah hanya penebangan hutan
secara ilegal. Terlebih lagi diriku hanya mendaki, mendaki, dan mendaki puncak
gunung. Karena, dalam diri ada cara pandang dan kesadaran yang sungguh
gersang, dalam diri ada limbah yang mengalir dalam setiap ucapan tak
bertanggungjawab, dalam diri ada tindakan amoral yang seringkali diwajarkan.
Karena yang kudaki hanyalah ego-ego yang hanya mengantarkanku pada puncak egosentrism.
Lihatlah megah makna lingkungan,
jika begitu eksklusifnya menjadi sang “pencinta” dan “alam”-lah yang ingin
dicinta. Mencari makna hidup dalam keterasingan diri dalam sokongan daun lontar
sementara jagad raya ini begitu luas, tak terhingga, tak terjangkau, yang
ungkapan-ungkapan itu hanyalah keterbatasan khayal yang manusia miliki.
Bahwa setiap kita yang terdalam
tak memiliki alasan untuk mengingkari kemungkinan keberadaan semut kecil hitam
diatas kelamnya batu hitam dalam pekatnya malam.
Kesadaran itu ada dalam alam
malam, dan bahwa setiap kita memiliki semut kecil hitam yang tak kita sadari
yang mempertanyakan kehidupannya diatas batu hitam kelam. Yang menjalankan
kehidupannya dalam ketak-sadaran diri, kehitaman diri diatas batu hitam. Malam
menjadi hilang diri karena menyatu bersama batu yang hitam. Batu menjadi samar
karena malam melingkupi dan menyatu. Apalagi kau, sang semut yang tercipta
hitam dilingkupi namun tak menyadari, menyatu namun mengingkari. Siapa yang
menanggung keadaan itu? Semut yang hitam? Alam yang hitam?
Menyadari ketakterbayangkannya
alam ini (kosmologi), akan sedikit membantu kita dalam kesahajaan tindakan,
ucapan dan pemikiran (cara pandang). Namun, hal itu bukanlah hanya sebentuk
gagasantranscendental yang berakhir pada rangkaian kalimat logis menggugah
hati yang rindu, lantas mengawang diudara menguap bersama bunyi-bunyi yang
melalui rongga, tak beda dengan kentut busuk. Bahwa menyadari kosmos yang maha
luas, berarti menjadi gelisah akan kosmos diri yang begitu dalam.
Sebaiknya Renungkan kembali
mengapa kita harus ke Gunung?
Manusia selalu takut akan bencana
serta kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan olehnya namun tanpa disadarinya
kerusakan yg paling parah justru berasal dari dalam manusia itu sendiri…alam
bisa mengontrol dirinya sendiri sementara tanpa kita sadari bencana kemanusiaan
yang paling parah justru berasal dari manusianya itu sendiri.
Sosok pencinta alam sebagaimana
yang kita ketahui adalah sosok yang diharapkan bisa menjadi pelopor dalam
menjaga serta melestarikan alam beserta kehidupan didalamya mencakup bagaimana
dalam berpola serta berprilaku dalam kehidupan sehari-hari namun ironisnya,
sebagaimana yang kita lihat dalam realitas yang sementara berkembang justru
sosok pencinta alam tidak (ataukah belum) berada dalam kondisi yang kita
harapkan bersama (FAKTA)..
Tidak ada yang salah dengan
PENCINTA ALAMnya, sosok yang berada dalam PENCINTA ALAM tersebut yang tanpa dia
sadari yang bertingkah seolah peduli namun kenyataannya tidak ambil pusing sama
sekali akan keadaan tersebut. Alih-alih peduli akan Alam, peduli akan dirinya
sendiri pun kita mungkin sepakat untuk mengatakan tidak!!! Apakah betul bisa
kita katakan peduli apabila masih ada yang juga sosok pencinta alam yang masih
mengkonsumsi minuman keras dan obat-obatan terlarang??? Apakah ini yang kita
namakan cinta??? tak ada dasar sama sekali akan hubungan yang simetris tentang
menjaga kelestarian lingkungan beserta kehidupan didalamnya dengan masih
mengkonsumsi barang-barang haram tersebut.
Belum lagi pengetahuan yang
mendasar terkadang hanya dijadikan sebagai materi yang merupakan PROGRAM KERJA
tanpa disadari akan pentingnya untuk dimiliki bagi setiap sosok tersebut.
Bagaimana bisa untuk berbuat kalau kita tak tahu dan sama sekali tak paham???
Maka yang ada di dalam kepala sosok tsb hanyalah bagaimana untuk bisa SURVIVE
ataukah keterampilan-keterampilan lainnya tanpa pernah mau untuk menyadari
untuk apa dia harus pahami pengetahuan akan keterampilan tersebut. Apakah sosok
pencinta alam tidak lagi harus belajar untuk mengetahui hal-hal yang lain
selain daripada sekedar materi-materi keterampilan kepencintaalaman??
Sosok pencinta alam seolah-olah
menjadi momok yang menakutkan dalam setiap sisi kehidupannya. Arogansi,
solidaritas buta, dsb bisa kita ketemukan didalam sosok tsb. Bagaimana tidak???
Untuk bisa menjadi sosok pencinta alam harus melalui proses “diklat (atau
apapun namanya)” yang notabene kekerasan bahkan”MENCABUT HAK ASASI MANUSIA”
bisa kita temui di dalamnya. Berarti setiap sosok pencinta alam bisa berpeluang
untuk menjadi penjahat Hak asasi manusia? Sangat kontradiksi dengan kata CINTA
yang ada didalam nama PENCINTA ALAM tersebut.
Tak ada yang salah dengan
PENCINTA ALAM, yang (mungkin) salah adalah sosok-sosok yang dengan bangganya
kebetulan berada didalamnya yang dengan kebanggaannya tak mau lagi mengerti apalagi
sadar untuk apa dia berada didalam organisasi yang sebenarnya suci tersebut,
yang (mungkin) salah adalah sosok-sosok yang dengan bangganya kebetulan berada
didalamnya yang dengan kebanggaannya tak mau lagi untuk mendengar saran serta
kritikan-kritikan dari luar seolah Cuma sosok pencinta alam saja manusia yang
hidup. MANUSIA adalah Khalifah yang diturunkan untuk menjaga dan melestarikan
Alam beserta seluruh kehidupan didalamnya, dan sosok pencinta alam bukanlah
satu-satunya manusia di muka bumi ini. Seluruh warga bumi berhak untuk menjaga
dan melestarikan Alam beserta seluruh kehidupan didalamnya.
Percuma naik gunung jikalau
menaklukkan diri sendiri saja sulit untuk dilakukan. Seharusnya segala
sisi-sisi kelam manusia bisa dikeluarkan bersamaan dengan bercucurannya
keringat yang menetes dalam perjalanan menuju ke puncak gunung. Puncak gunung
yang sebenarnya justru berada dalam diri manusia itu sendiri.
Rasa-rasanya memang betul perlu
ditinjau kembali mengapa setiap sosok pencinta alam harus ke puncak gunung
padahal alam bukan hanya gunung saja…pencinta alam bukan pencinta gunung.
Seharusnya setiap sosok pencinta alam mulai sekarang harus bisa untuk membuka
mata dan hati untuk bisa melihat bahwasanya untuk menjaga serta melestarikan
alam beserta kehidupan didalamnya harus berarti pula untuk bisa menjadi
khalifah yang baik. Maksudnya, semoga bisa menjadi teladan yang baik dalam
kehidupan sehari-hari. Mulai untuk membuka mata bahwasanya dengan memperhatikan
manusia lain beserta kondisi disekelilingnya hal itu berarti langkah awal untuk
menuju ke puncak gunung yang sebenarnya. Bukan puncak gunung yang biasa kita
daki bersama.
Jikalau tak berbenah dan segera
mengevaluasi diri, bukan tidak mungkin PENCINTA ALAM bisa kehilangan
kesuciannya didalam perjuangan yang sebenarnya mulia ini. Bagaimana di satu
sisi bisa memanusiakan manusia dalam sebuah konteks kaderisasi dan
sementara disisi lain berperan aktif didalam tugasnya sebagai khalifah di muka
bumi ini. Salam untuk sebuah perubahan yang kecil menuju sebuah perubahan yang
lebih besar. Mulia ataukah hinanya sebuah organisasi berawal dari
kesadaran-kesadaran penghuninya yang membawa nama baik organisasinya. Karena
sebenarnya kesalahan-kesalahan sosok bisa diindikasikan sebagai suatu
kesalahan-kesalahan organisasi yang menaungi sosok tersebut. Berpijak dari hal
yang kecil untuk kemudian dihadapkan dengan realita-realita dan membentuk
sebuah kesadaran kritis dalam berpola serta berprilaku dalam kehidupan
sehari-hari. Semoga ide-ide yang tulus akan selalu selaras dengan
realita-realita yang baik.
Analisis Pernyataan Soe Hok Gie
Dan Mahasiswa Pencinta Alam
Kami jelaskan apa sebenarnya
tujuan kami Kami katakan bahwa :
Kami adalah manusia – manusia yang tidak percaya pada slogan Patriotisme tidak
mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan – slogan Seseorang hanya dapat
mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya Dan mencintai tanah
air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya
dari dekat Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula
pertumbuhan fisik yang sehat Karena itu Kami naik gunung”
Pernyataan Soe Hok Gie diatas
jika di runut dari akhir ke awal atau dipahami (dibaca) dari kata terakhir ke
kata pertama; maka akan menjadi :
Karena itu Kami naik gunung :
Pertumbuhan jiwa yang sehat dari
pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat
“ Jika MPA Indonesia mendaki gunung (dengan mendaki gunung) maka Fisik dan Jiwa
MPA Indonesia akan sehat
(di dalam badan yang sehat terdapat jiwa yang kuat, maka bersembahyanglah)
dan, mencintai tanah air
Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari
dekat
dan, Saat MPA Indonesia naik gunung maka akan terjadi interaksi dengan
lingkungan
Seseorang hanya dapat mencintai
sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya
dan, Proses interaksi akan bermuara pada pengenalan (dengan seluruh tingkatan
pengenalan)
dan, Dari pengenalan yang mendalam akan hadir kata cinta anugrah Illahi
Patriotisme tidak mungkin tumbuh
dari hipokrisi dan slogan – slogan
Kami adalah manusia – manusia
yang tidak percaya pada slogan
dan, kehadiran cinta anugrah Illahi akan membentuk kesadaran untuk peduli
(beralaskan kecintaan)
dan, Sikap kesdaran untuk peduli akan berujung keikhlasan untuk membantu
(membantu dalam kebaikan; ciri kepahlawanan)
dan, Ini semua tidak mungkin diperoleh dengan kebohongan (lain ucapan lain pula
tindakan)
dan sikap membantu dalam kebaikan merupakan salah satu fungsi dasar manusia
dan, Manusia yang dimaksud Adalah Mahasiawa Pencinta Alam (MPA) Indonesia
Kami jelaskan apa sebenarnya
tujuan kami Kami katakan bahwa :
dan,Inilah penjelasan terbaik kami Mahasiswa Pencinta Alam (MPA) Indonesia
Pendekatan Filosofis – Pencinta
Alam (Bagian 1)
“setiap langkah yang engkau
lakukan sangat tergantung pada langkah terakhir yang engkau pikirkan”,
(nevyjamest)
“Pencinta Alam”, kalimat yang
kian menguat dan akhirnya menjadi bagian dari detak kehidupan masyarakat
Indonesia.
Kalimat yang mudah diingat dan dekat dengan kehidupan ; Cinta dan Alam.
Komunitas kalimat tersebut
umumnya berasal dari segmen masyarakat yang cukup terhormat, Mahasiswa ! Serta
mereka yang menghargai kebebasan dalam kehidupan dan tidak sekedar hidup.
Komunitas ini lalu melembagakan kalimat tersebut dengan sebutan mahasiswa
pencinta alam atau mpa (tidak sama antara mpa dan mapala).
Komunitas tersebut lalu berusaha tegak berjalan dalam jepitan waktu, pancangkan
panji kelembagaan di puncak kehidupan berbangsa yang kian gersang.
Jelang lima dekade terakhir
komunitas tersebut masih ada dan tetap seperti itu. Wajarlah jika bukan hanya
masyarakat yang ajukan sejumlah tanya tetapi ironisnya komunitas tersebut pun
sebenarnya tanpa sadar tenggelam dalam kebingungan : Siapa sebenarnya mereka !
Komunitas ini ada tapi tidak
eksis, memiliki waktu tanpa ruang, memiliki ruang tanpa materi, memiliki materi
tanpa nilai, dan seterusnya.
“Pencinta Alam”, kalimat tersebut
terkesan gampangan untuk dipahami sehingga sangat murah dijadikan tiket
legitimasi dalam pergaulan sosial dan politik praktis.
“Pencinta Alam”, mudah diingat
sering dilupakan.
“Pencinta Alam”, terlalu dekat untuk dijangkau.
Pertanyaan dasar :
Apa yang dimaksud dengan pencinta
alam dan mahasiswa pencinta alam ?
Bagaimana proses memahami
pencinta alam dan bagaimana mahasiswa pencinta alam berproses ?
Seperti apa tujuan manfaat
pencinta alam dan mahasiswa pencinta alam ?
ada 2 (dua) pendekatan untuk
dapat mengerti dan memahami arti “Pencinta Alam dan Mahasiswa Pencinta Alam”,
yakni :
Pendekatan Filosofis
Pendekatan Historis
Pencinta Alam Pendekatan
Filosofis Sandaran berpikir, bahwa :“Allah SWT telah menciptakan Alam dan
Manusia”
Beberapa aspek maknawiah dari
kebenaran umum diatas, antara lain :
Penegasan eksistensi keilahian
Sang Maha Pencipta
Yang diciptakan Allah SWT ialah
Alam dan Manusia
Alam dan Manusia adalah cermin
eksistensi keilahian Sang Maha Pencipta
Alam dan Manusia menurut
pandangan Allah SWT
Alam dan Manusia merupakan relasi
keterikatan tak terpisahkan
Alam dan Manusia adalah ciptaan
yang mengabdi kepada Sang Maha Pencipta
Proses interaksi antara Manusia
dan Alam senantiasa disandarkan hanya kepada Sang Maha Pencipta – Allah SWT.
Apa yang dimaksud dengan Pencinta
Alam?
Cerminan interaksi antara Manusia dan Alam inilah yang diejawantahkan dalam
suatu kata / kalimat / istilah, yakni : Pencinta Alam.
Secara filosofis, Pencinta Alam hanyalah suatu istilah ekspresif dari hubungan
Manusia dan Alam sebagai suatu sistem yang tunduk bersandar kepada Sang Maha
Pencipta – Allah SWT.
operasional, Pencinta Alam
merupakan suatu statement tentang pentingnya menjaga keharmonisan hubungan
antara Manusia dan Alam yang beralaskan kesadaran dan kecintaan.
Aplikatif, “Pencinta Alam” menjadi suatu konsepsi atau pun metode edukatif yang
efektif dalam proses pembelajaran dan peningkatan kualitas diri manusia.
Kekeliruan dalam memahami
“Pencinta Alam” selama ini terletak pada pendekatan gramatikal (“Pencinta =
subjek, orang yang mencintai; “Alam” = Objek, yang dicintai; sehingga “Pencinta
Alam = kumpulan orang – orang yang mencintai dan peduli terhadap alam).
Kekeliruan diatas adalah gambaran
kekacauan dalam berpikir yang akhirnya bermuara pada anggapan bahwa “Pencinta
Alam” merupakan suatu bakat / minat / hobbi / profesi serta terjebak dalam
diskusi huruf “N”, dan menjadi sempurna saat tidak mampu membedakan antara
“Pencinta Alam” dan “Petualangan”.
Mahasiswa Pencinta Alam (MPA)
Pendekatan Filosofis
Mahasiswa Pencinta Alam merupakan organisasi kemahasiswaan yang berkedudukan
dalam suatu intitusi pendidikan tinggi yang dibentuk sebagai wadah pendidikan
kepencintaalaman.
Dalam penyelenggaraanya
diharapkan dapat menyampaikan secara tepat hal – hal yang dimaksud dengan
pendidikan kepencintaalaaman.
Secara filosofis ketika “Pencinta
Alam” dilembagakan (mpa = mahasiswa pencinta alam ; kpa = kelompok pencinta
alam) akan berpotensi untuk mengenyampingkan nilai kepencintaalaman dalam
pencapaian tujuan politik kelembagaannya.
Bagaimana proses memahami
Pencinta Alam?
Prosesnya : Pendidikan dan Belajar !
Syarat sesuatu dapat dikatakan mengandung unsur “Pendidikan”, jika dalam
prosesnya mennyampaikan nilai – nilai dasar kemanusiaan.
Manusia terlahir sebagai pembelajar, tetapi setelah manusia beranjak besar
menjadi enggan untuk belajar.
Belajar merupakan proses keilmuan diri dan kedirian ilmu;
dan tidak tinggi hati merupakan syarat dasar dalam proses belajar;
sehingga tujuan belajar agar dapat membedakan hal baik dan hal buruk dapat
tercapai.
Cara belajar yang terbaik bagi komunitas pencinta alam ialah berkunjung ke Alam
Bebas (bahkan ini menjadi semacam hukum dasar).
Pada dasarnya Alam Bebas itu
tidak nyata.
Alam Bebas hanya ada dalam bentuk wacana dan mimpi manusia.
Alam Bebas merupakan suatu
dimensi yang terbuka bagi siapa saja dan memberikan kebebasan kepada siapa saja
yang mengunjunginya.
Proses masuk berkunjung / beraktivitas di alam bebas itulah yang disebut
Petualangan, yakni; Suatu tindakan memasuki dimensi ketidaktahuan, penuh
misteri dan sarat kejutan atau hal – hal yang tidak terduga.
Kedudukan “Pencinta Alam” sangat berbeda dengan “Petualangan”, tetapi memiliki
keterkaitan erat dan tidak dapat dipisahkan.
Komunitas “Pencinta Alam” dalam prosesnya akan melakukan aktivitas petualangan
atau dengan kata lain, bahwa;
Tidaklah sama kedudukan komunitas Pencinta Alam mendaki gunung dengan pendaki
gunung mendaki gunung.
Tujuan manfaat Pencinta Alam
Membangun pemahaman yang dalam
terhadap hubungan Sang Maha Pencipta Allah SWT – Manusia – Alam.
Membangun pemahaman yang kokoh
terhadap konsepsi Alam dan Manusia.
Membangun kesadaran terhadap
fungsi dan kedudukan sebagai Manusia.
Pencinta Alam Pendekatan Historis
Sisi sejarah “Pencinta Alam” erat terkait pada perjalanan sejarah mpa
(mahasiswa pencinta alam) dengan sandaran berpikir, bahwa : “Istilah Pencinta
Alam”secara resmi dikenal melalui organisasi mahasiswa pencinta alam”
Indonesia era tahun 1960-an;
Merupakan salah satu era transisi dalam berbangsa. yang sangat mempengaruhi
alam pemikran masyarakat Indonesia.
Perekonomian hancur, angka kemiskinan sangat tinggi, korupsi merajalela,
kedaulatan NKRI belum tuntas, trikora dicanangkan untuk membebaskan Irian Barat,
suhu politik memanas, Badan kepanduan Indonesia menjadi Pramuka, Pencetusan
kelahiran WANADRI – Perhimpunan pendaki gunung dan penjelajah rimba (suatu
organisasi kepetualangan), kemunculan angkatan 66, G30SPKI dan Supersemar serta
kejatuhan orde lama, dll dst.
Ditengah buruknya cuaca
Ipoleksosbud di Indonesia pada sat itu, perlahan nan pasti, tumbuhlah pohon
pencinta alam yang kini telah menjadi ribuan pohon dengan aneka rasa buah warna
dan dedaunan. Pohon – pohon tersebut senantiasa tumbuh dan berkembang; karena
cinta adalah anugerah Illahi yang selalu hadir di sembilan alamnya.
Aliran kecil jejak sejarah
pertumbuhan pohon tersebut berawal dari Fakultas Sastera Universitas Indonesia
(FSUI), kampus Salemba Jakarta, melalui sebuah kelompok kecil (small group)
bernama FM atau Fakir Miskin yang dipelopori oleh Soe Hok Gie.
Masuk kampus dengan pakaian
compang camping dan bertelanjang kaki merupakan gambaran penampilan teatretikal
anggota FM untuk mengekspresikan keadaan masyarakat Indonesia yang sangat
miskin .
Pucuk kegelisahan FM terhadap
keadaan akan dinyatakan dalam aksi demonstrasi untuk menyampaikan pemikiran
yang cerdas dan Indonesialis.
Untuk menjaga kemurnian
perjuangan FM dilakukan dengan cara Mendaki Gunung; Bagi mereka ke gunung
merupakan suatu upaya untuk membersihkan diri dan membuka cakrawala berpikir.
Soe Hok Gie, seorang Tionghoa
nasionalis dan salah seorang tokoh pergerakan mahasiswa Indonesia, melalui
pemikiran inspiratif bersama sejumlah mahasiswa FSUI, pada penghujung tahun
1964 membentuk wadah membentuk wadah perjuangan yang diberi nama IMPALA (Ikatan
Mahasiswa Pencinta Alam) FSUI.
Pada tahun 1970, langsung atau
tidak langsung, sosok Soe Hok Gie ikut memberi jiwa dalam penyatuan small group
dan membentuk wadah yang selanjutnya dikenal dengan MAPALA – UI.
Small group yang dimaksud
merupakan kelompok – kelompok pergerakan perjuangan mahasiswa yang warna
kegiatannya menyatukan fungsi mahasiswa sebagai social controle dan kegiatan
kepetualangan;
Substansinya tidak berada pada tataran nama small group yang harus memiliki
nuansa inisial cinta dan alam tetapi lebih kepada tujuan manfaat dalam konteks
berbangsa dan bertanah air.
Kelompok apa saja yang
menggunakan inisial bernuansa pencinta alam di Universitas Indonesia saat itu,
bukan menjadi titik keistimewaan karena lebih internalistik dan belum “layak
jual”, sehingga hanya melalui nama MAPALA – UI, jejak sejarah diperkenalkannya
secara resmi istilah “Pencinta Alam”, menjadi lebih jelas, rasional dan
berkekuatan hukum ( MAPALA – UI organisasi legal formal dan bukan small group).
Meskipun kehadiran nama MAPALA –
UI terjadi pada tahun 1970 tetapi tahun kelahiran organisasi tersebut tidak
mengacu pada tahun tahun 1970. Hal ini memberikan indikasi tentang adanya
pertimbangan politik strategis yang jauh kedepan.
Untuk itu dapat ditegaskan bahwa
:
Istilah “Pencinta Alam” untuk
pertama kali secara resmi diperkenalkan oleh organisasi MAPALA – UI pada tahun
1970.
Penyampaian istilah tersebut
tidak diikuti dengan suatu penjelasan yang mendalam dan universal sesuai kaidah
keilmuan dan filosofis.
Mahasiswa Pencinta Alam (MPA)
Pendekatan Historis
Bersandar pada pertimbangan tersebut diatas, maka dapat dikatakan bahwa :
Nama organisasi kepencintaalaman
dengan akronim MAPALA (Mahasiswa Pencinta Alam) untuk pertama kali
diperkenalkan oleh MAPALA – UI.
Situasi kehidupan IPOLEKSOSBUD
bangsa dan Negara pada era tersebut ikut mempengaruhi warna dan proses
kelahiran MAPALA – UI.
Landasan perjuangan MPA
(Mahasiswa Pencinta Alam) telah dipersiapkan oleh SOE HOK GIE (1969), sebagai
berikut :
Kami jelaskan apa sebenarnya
tujuan kami
Kami katakan bahwa :
Kami adalah manusia – manusia yang tidak percaya pada slogan Patriotisme tidak
mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan – slogan Seseorang hanya dapat
mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya dan mencintai tanah
air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya
dari dekat Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula
pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itu Kami naik gunung”
Statement diatas disampaikan Soe
Hok Gie melalui sebuah media cetak nasional, usai melakukan pendakian di gunung
Slamet tahun 1969;
Statement tersebut adalah cermin tingkat kesadaran dan kecerdasan Soe Hok Gie
sebagai seorang mahasiswa pencinta alam dalam berbangsa dan bernegara.
Soe Hok Gie telah menjawab mengapa mahasiswa pencinta alam mendaki gunung serta
meletakkan visi mahasiswa pencinta alam (mpa) Indonesia.
Melalui statement Soe Hok Gie tersebut, tersirat menjadi contoh bagaimana
menjadi mahasiswa pencinta alam yang sebenarnya, terutama dalam konteks
psikologis, berbudaya, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
sumber :
https://bocahamik.wordpress.com/dunia-ilmu/sejarah-pencinta-alam/
(Seri Dinamika Kepencintaalaman Indonesia)
berbangsa dan bernegara.
Kami adalah manusia – manusia yang tidak percaya pada slogan Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan – slogan Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat Karena itu Kami naik gunung.
a. Kata Naik lebih bersifat universal dan familiar.
b. Kata Gunung, memiliki sejarah yang panjang dan sangat dekat dengan kehidupan manusia (selain gua dan laut).
“ Jika MPA Indonesia mendaki gunung (dengan mendaki gunung) maka Fisik dan Jiwa MPA Indonesia akan sehat
(di dalam badan yang sehat terdapat jiwa yang kuat, maka bersembahyanglah)
dan, Saat MPA Indonesia naik gunung maka akan terjadi interaksi dengan lingkungan
dan, Proses interaksi akan bermuara pada pengenalan (dengan seluruh tingkatan pengenalan)
dan, Dari pengenalan yang mendalam akan hadir kata cinta anugrah Illahi
dan, kehadiran cinta anugrah Illahi akan membentuk kesadaran untuk peduli (beralaskan kecintaan)
dan, Sikap kesdaran untuk peduli akan berujung keikhlasan untuk membantu (membantu dalam kebaikan; ciri kepahlawanan)
dan, Ini semua tidak mungkin diperoleh dengan kebohongan (lain ucapan lain pula tindakan)
dan sikap membantu dalam kebaikan merupakan salah satu fungsi dasar manusia
dan, Manusia yang dimaksud Adalah Mahasiawa Pencinta Alam (MPA) Indonesia
dan,Inilah penjelasan terbaik kami Mahasiswa Pencinta Alam (MPA) Indonesia
Kalimat yang mudah diingat dan dekat dengan kehidupan ; Cinta dan Alam.
Komunitas tersebut lalu berusaha tegak berjalan dalam jepitan waktu, pancangkan panji kelembagaan di puncak kehidupan berbangsa yang kian gersang.
“Pencinta Alam”, terlalu dekat untuk dijangkau.
Cerminan interaksi antara Manusia dan Alam inilah yang diejawantahkan dalam suatu kata / kalimat / istilah, yakni : Pencinta Alam.
Secara filosofis, Pencinta Alam hanyalah suatu istilah ekspresif dari hubungan Manusia dan Alam sebagai suatu sistem yang tunduk bersandar kepada Sang Maha Pencipta – Allah SWT.
Aplikatif, “Pencinta Alam” menjadi suatu konsepsi atau pun metode edukatif yang efektif dalam proses pembelajaran dan peningkatan kualitas diri manusia.
Mahasiswa Pencinta Alam merupakan organisasi kemahasiswaan yang berkedudukan dalam suatu intitusi pendidikan tinggi yang dibentuk sebagai wadah pendidikan kepencintaalaman.
Prosesnya : Pendidikan dan Belajar !
Syarat sesuatu dapat dikatakan mengandung unsur “Pendidikan”, jika dalam prosesnya mennyampaikan nilai – nilai dasar kemanusiaan.
Manusia terlahir sebagai pembelajar, tetapi setelah manusia beranjak besar menjadi enggan untuk belajar.
Belajar merupakan proses keilmuan diri dan kedirian ilmu;
dan tidak tinggi hati merupakan syarat dasar dalam proses belajar;
sehingga tujuan belajar agar dapat membedakan hal baik dan hal buruk dapat tercapai.
Cara belajar yang terbaik bagi komunitas pencinta alam ialah berkunjung ke Alam Bebas (bahkan ini menjadi semacam hukum dasar).
Alam Bebas hanya ada dalam bentuk wacana dan mimpi manusia.
Proses masuk berkunjung / beraktivitas di alam bebas itulah yang disebut Petualangan, yakni; Suatu tindakan memasuki dimensi ketidaktahuan, penuh misteri dan sarat kejutan atau hal – hal yang tidak terduga.
Kedudukan “Pencinta Alam” sangat berbeda dengan “Petualangan”, tetapi memiliki keterkaitan erat dan tidak dapat dipisahkan.
Komunitas “Pencinta Alam” dalam prosesnya akan melakukan aktivitas petualangan atau dengan kata lain, bahwa;
Tidaklah sama kedudukan komunitas Pencinta Alam mendaki gunung dengan pendaki gunung mendaki gunung.
Sisi sejarah “Pencinta Alam” erat terkait pada perjalanan sejarah mpa (mahasiswa pencinta alam) dengan sandaran berpikir, bahwa : “Istilah Pencinta Alam”secara resmi dikenal melalui organisasi mahasiswa pencinta alam”
Merupakan salah satu era transisi dalam berbangsa. yang sangat mempengaruhi alam pemikran masyarakat Indonesia.
Perekonomian hancur, angka kemiskinan sangat tinggi, korupsi merajalela, kedaulatan NKRI belum tuntas, trikora dicanangkan untuk membebaskan Irian Barat, suhu politik memanas, Badan kepanduan Indonesia menjadi Pramuka, Pencetusan kelahiran WANADRI – Perhimpunan pendaki gunung dan penjelajah rimba (suatu organisasi kepetualangan), kemunculan angkatan 66, G30SPKI dan Supersemar serta kejatuhan orde lama, dll dst.
Substansinya tidak berada pada tataran nama small group yang harus memiliki nuansa inisial cinta dan alam tetapi lebih kepada tujuan manfaat dalam konteks berbangsa dan bertanah air.
Bersandar pada pertimbangan tersebut diatas, maka dapat dikatakan bahwa :
Kami katakan bahwa :
Kami adalah manusia – manusia yang tidak percaya pada slogan Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan – slogan Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itu Kami naik gunung”
Statement tersebut adalah cermin tingkat kesadaran dan kecerdasan Soe Hok Gie sebagai seorang mahasiswa pencinta alam dalam berbangsa dan bernegara.
Soe Hok Gie telah menjawab mengapa mahasiswa pencinta alam mendaki gunung serta meletakkan visi mahasiswa pencinta alam (mpa) Indonesia.
Melalui statement Soe Hok Gie tersebut, tersirat menjadi contoh bagaimana menjadi mahasiswa pencinta alam yang sebenarnya, terutama dalam konteks psikologis, berbudaya, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
No comments:
Post a Comment