Wednesday, May 18, 2016

Sejarah Pencinta Alam



Pernyataan Soe Hok Gie Dan Mahasiswa Pencinta Alam
(Seri Dinamika Kepencintaalaman Indonesia)
Pernyataan dibawah ini disampaikan Soe Hok Gie melalui sebuah media cetak nasional, usai melakukan pendakian di gunung Slamet tahun 1969; Pernyataan tersebut adalah cermin tingkat kesadaran dan kecerdasan Soe Hok Gie sebagai seorang mahasiswa pencinta alam dalam berbangsa dan bernegara.
Soe Hok Gie telah menjawab mengapa mahasiswa pencinta alam mendaki gunung serta meletakkan visi mahasiswa pencinta alam (mpa) Indonesia. Melalui pernyataan ini, tersirat menjadi contoh bagaimana menjadi mahasiswa pencinta alam yang sebenarnya, terutama dalam konteks psikologis, berbudaya, bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami, Kami katakan bahwa :
Kami adalah manusia – manusia yang tidak percaya pada slogan Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan – slogan Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat Karena itu Kami naik gunung.

Analisis pernyataan Soe Hok Gie

1. Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami
Kata Kami, menunjukkan Soe Hok Gie beserta teman – teman pendakiannya ke gunung Slamet (1969).
Kata Kami, merujuk pada Mahasiswa Pencinta Alam (MPA) Indonesia; karena Soe Hok Gie juga adalah Mahasiswa Pencinta Alam (MPA). Cobalah anda baca pernyataan diatas dengan mengubah kata Kami dengan kata Mahasiswa Pencinta Alam (MPA) Indonesia.
Kata Jelaskan, menekankan bahwa MPA harus “menyampaikan sesuatu, jangan diam”, bicara kepada mereka, masyarakat, bangsa dan Negara tentang apa dan siapa MPA Indonesia?
Kata apa sebenarnya, menegaskan tentang sesuatu (apa) dan ada banyak hal yang benar tetapi hanya satu yang benar (sebenarnya); Beragam pemikiran komunitas MPA Indonesia tetapi hanya satu yang benar.
Kata Tujuan, menegaskan bahwa kehadiran MPA Indonesia memiliki cita – cita yang luhur dan hari esok yang jelas bagi masyarakat, bangsa dan Negara Indonesia.
Kata Kami, dua kali disebutkan pertanda ada “semacam kemarahan” yang mendalam; Perlu diketahui bahwa sebelum Soe Hok Gie mendaki ke gunung Slamet, beliau sempat ditanya dengan nada sinis “untuk apa beliau mendaki gunung” .

 2. Kami adalah manusia – manusia yang tidak percaya pada slogan
Kata Kami, menunjukkan Soe Hok Gie beserta teman – teman pendakiannya ke gunung Slamet (1969).
Kata Kami, merujuk pada MPA Indonesia.
Kata adalah, menekankan adanya batasan (definisi) tentang jati diri MPA Indonesia?
Kata Manusia – Manusia, dituliskan lebih dari satu kali (ditulis sebanyak dua kali) mengandung kemarahan / penegasan; pertama, menegaskan bahwa MPA Indonesia itu adalah manusia (bukan Batu, bukan Pepohonan, bukan binatang dan bukan Sekedar Bentuk Manusia); MPA Indonesia itu adalah Manusia yang sesungguhnya Manusia; Manusia Ciptaan Allah SWT yang memiliki kesadaran tentang fungsi manusia, yakni memberikan manfaat bagi kehidupan di muka bumi. Kedua, jumlah MPA Indonesia sangat banyak dan semuanya adalah Manusia.
Kata Yang tidak percaya pada, menyampaikan bahwa MPA Indonesia merupakan komunitas yang berpikir (memiliki akal pikiran); sehingga dapat membedakan hal yang patut dipercaya (baik) dan hal yang tidak patut dipercaya (buruk).
Kata Slogan, secara vulgar berarti hanya bicara saja; Menjelaskan tentang pemerintahan pada saat itu (sifat manusia) yang tidak konsisten atau tidak sesuai antara ucapan dan tindakan.

3. kata Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan – slogan
Kata Patriotisme, menjelaskan tentang jiwa kepahlawanan; Didalam diri manusia terkandung sifat dasar kepahlawanan, yakni sifat saling membantu dalam urusan kebaikan.
Kata Tidak mungkin tumbuh dari, menjelaskan bahwa sesuatu akan tumbuh (misalnya bibit pohon berkualitas) jika berada di lahan (sistem) yang subur (baik, kondusif) serta memperoleh perawatan (pupuk dan air) yang tepat. Tanpa itu semua maka tidak akan mungkin tumbuh pohon patriotisme.
Kata Hipokrisi dan slogan – slogan, kebohongan (hipokrisi) dan inkonsistensi (slogan) merupakan sesuatu yang kontra produktif.

4. kata Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya
Kata diatas menjelaskan bahwa kekuatan seseorang dalam mencintai sesuatu (objek) sangat tergantung pada kekuatan pengenalan terhadap objek tersebut. Tetapi, seseorang tidak akan pernah memiliki kekuatan pengenalan yang baik jika seseorang itu tidak mengenal dirinya secara baik.
Seseorang dapat dikatakan sehat jika sigma quotient dirinya Nol. (PQ + IQ + EQ + SQ = 0).
Dalam konteksnya menggambarkan situasi bangsa (pemerintahan Indonesia) pada saat itu. Banyak birokrat yang tidak dapat melihat, mendengar dan merasakan penderitaan sebagian besar rakyat Indonesia dan banyak birokrat tidak mengenal Tanah Air Indonesia. Apakah MPA Indonesia akan seperti itu ?

5. Kata Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat
Kata diatas merupakan pengembangan dari kata sebelumnya.
Dalam konteksnya Soe Hok Gie memberikan advis dan solusi.
Kata diatas menjelaskan mengenal Indonesia (sebenarnya telah inklud dengan rakyatnya; tetapi Soe Hok Gie ingin menekankan pada aspek rakyatnya) harus lebih diutamakan rakyatnya; kata secara dekat, lebih kearah jiwa rakyat Indonesia; sehingga sikap mencintai kepada Tanah Air dapat tumbuh (dan bukannya sikap mencintai diri sendiri atau kelompok sendiri) Perlu untuk direnungi bahwa situasi Indonesia saat ini, sulit menemukan orang Indonesia.

6. Kata Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat
Kata Pertumbuhan menunjukkan sesuatu yang berproses (belum final) hingga tiba saatnya; Pertumbuhan berarti tidak mati dan atau tidak juga pengkerdilan.
Kata Jiwa yang sehat, lebih mengarah kepada aspek IQ, EQ dan SQ yang pintar.
Kata Pemuda, mengisyaratkan bukan kanak – kanak (yang suka merengek jika keinginannya tidak dipenuhi); Pemuda bukan kaum jompo yang tidak dapat berbuat apa – apa; Pemuda adalah kaum yang kuat dalam suatu perubahan; Menguatkan yang lemah, memperbaiki kekeliruan orang – orang terdahulu.
kata Harus berarti, menunjukkan sesuatu yang sama pentingnya.
Kata Fisik yang sehat, menjelaskan bahwa tidak cukup hanya IQ, EQ dan SQ yang pintar; tetapi variabel fisik yang pintar (Smart Physical Quotient) tidak boleh diabaikan.
Sebgai pelengkap, seseorang dapat dikatakan cerdas jika seluruh Quotient variable – nya pintar; dan disebut seseorang dikatakan sehat jika sigma quotient varabel – nya sama dengan nol (balance).

7. Kata Karena itu Kami naik gunung
Kata Karena, menunjukkan upaya jawaban terhadap akar masalah.
Kata Naik Gunung (kini populer dengan istilah mendaki gunung), sampai di titik ini ada banyak pertanyaan kontemplatif, yakni : Mengapa ke gunung ? mengapa bukan ke gua atau ke laut ? Apakah terkait dengan kemampuan teknis yang dimiliki Soe Hok Gie ? Apakah jika Soe Hok Gie memiliki adventure Rock Climbing Skill maka ia akan menulis karena itu kami “memanjat tebing ? Saya yakin, Soe Hok Gie akan tetap memilih Gunung dan tetap menggunakan kata Naik (bukan mendaki). mengapa ? :
a. Kata Naik lebih bersifat universal dan familiar.
b. Kata Gunung, memiliki sejarah yang panjang dan sangat dekat dengan kehidupan manusia (selain gua dan laut).
Gunung memberikan signal dari suatu kedudukan yang tinggi dan mulia tetapi dengan hati yang rendah.
mengapa kisah perjalanan Rasulullah Muhammad SAW berlangsung dari bukit (gunung) Jabal Nur ke Gua Hira ? keterkaitannya pada mengapa Gua (cave) tidak termasuk dalam klasifikasi Mountaineering ?
Dan pada saat kiamat nanti, Allah SWT mengangkat gunung – gunung dan mesjid- mesjid (bukan bangunan mesjid)
Masih banyak nilai gunung lainnya, dan dari titik ketinggian gunung Soe Hok Gie dapat membaca banyak peristiwa.

Bacalah, Karena Alam Adalah Tempat Belajar Yang Baik
Alam ini tertera banyak ayat bahkan segala sesuatunya, dalam alam tersebar banyak utusan bahkan apapun itu, yang artinya ada berlimpah ruah pelajaran mengenai hakikat, yang setiap itu melekat pada makhluk ciptaan-Nya. Hanya saja ada kesadaran yang begitu sulit ditemukan dalam diri ini. Bacalah, karena alam adalah tempat belajar yang baik.
Kadang saya membayangkan kehidupan sebagai seekor semut hitam. Sosok makhluk kecil yang didalam banyak ayat menganalogikan sesuatu yang memiliki kemungkinan paling kecil untuk disadari, bahwa dia (seekor semut hitam) yang berada diatas batu hitam kelam dalam pekatnya malam, tak akan lepas dari kesadaran seorang yang menyadari “Diri”-nya.
Pagi ini saya (semut hitam), kembali melakukan rutinitas sehari-hari; keluar dari sarang setelah sepanjang hari beraktivitas memenuhi banyak kebutuhan akan makan dan banyak lagi keinginan akan libido, sangat senang berinteraksi dengan kawan-kawan sesama semut hitam, berjabat-bercengkrama sebarang waktu, kedua antena menggiring ketempat dimana ada makanan, jika badanku sedikit besar lagi mungkin akan kuangkut juga sepiring makanan, entah senyawa apa yang menarikku berjalan kesana-kemari, modus bekerjaku mangikuti naluri, jika sekali hajat ku terancam akan kugigit, akan kugigit, dan akan kugigit, karena seringkali ku terancam oleh pemegang-pemegang kekuasaan, misalnya manusia, tapi mungkin lebih tepat kusebut dengan – binatang lainnya yang jauh lebih besar– yang katanya makhluk paling tinggi derajatnya, namun seringkali kudapati tidak demikian. Saya sangat instinktif, hingga saya kembali lagi kesarang, dan mempersiapkan diri untuk rutinitas esok hari, yang seperti itu lagi, dan yang tak kusadari.
Entah apa yang menarik perhatianku padamu sang sosok semut, hingga ketika kau menggigitku berakhir pula rutinitasmu itu. Gigitanmu menyadarkan pada waktu yang kurasa begitu cepat berlalu, yang ternyata tak bersandar pada pagi, siang ataupun malam, atau pada detik-detik jam dinding, yang kutahu hanya pertanyaan akan kesenangan apa lagi yang ingin dan belum kulakukan, tuntutan dunia apa lagi yang harus kupenuhi, hingga kau datang menggigitku.
Ini berarti: pencarian kembali makna lestari, jika kerusakan lingkungan hanyalah lahan gersang tak subur, pencemaran lingkungan oleh limbah industri ataukah hanya penebangan hutan secara ilegal. Terlebih lagi diriku hanya mendaki, mendaki, dan mendaki puncak  gunung. Karena, dalam diri ada cara pandang dan kesadaran yang sungguh gersang, dalam diri ada limbah yang mengalir dalam setiap ucapan tak bertanggungjawab, dalam diri ada tindakan amoral yang seringkali diwajarkan. Karena yang kudaki hanyalah ego-ego yang hanya mengantarkanku pada puncak egosentris.
Lihatlah megah makna lingkungan, jika begitu eksklusif-nya menjadi sang “pencinta” dan “alam”-lah yang ingin dicinta. Mencari makna hidup dalam keterasingan diri dalam sokongan daun lontar sementara gambaran jagad raya ini begitu luas, tak terhingga, tak terjangkau, yang ungkapan-ungkapan itu hanyalah keterbatasan khayal yang manusia miliki.
Bahwa setiap kita yang terdalam tak memiliki alasan untuk mengingkari kemungkinan keberadaan semut kecil hitam diatas kelamnya batu hitam dalam pekatnya malam.
Kesadaran itu ada dalam alam malam, dan bahwa setiap kita memiliki semut kecil hitam yang tak kita sadari yang mempertanyakan kehidupannya diatas batu hitam kelam. Yang menjalankan kehidupannya dalam ketak-sadaran diri, kehitaman diri diatas batu hitam. Malam menjadi hilang diri karena menyatu bersama batu yang hitam. Batu menjadi samar karena malam melingkupi dan menyatu. Apalagi kau, sang semut yang tercipta hitam dilingkupi namun tak menyadari, menyatu namun mengingkari. Siapa yang menanggung keadaan itu? Semut yang hitam? Alam yang hitam?
Menyadari ketakterbayangkannya alam ini (kosmologi), akan sedikit membantu kita dalam kesahajaan tindakan, ucapan dan pemikiran (cara pandang). Namun, hal itu bukanlah hanya sebentuk gagasantranscendental yang berakhir pada rangkaian kalimat logis menggugah hati yang rindu, lantas mengawang diudara menguap bersama bunyi-bunyi yang melalui rongga, tak beda dengan kentut busuk. Bahwa menyadari kosmos yang maha luas, berarti menjadi gelisah akan kosmos diri yang begitu dalam.
Inilah Kami; Sikap Socrates Terhadap ‘Sophis’
Socrates
Di dalam sejarah filsafat dijelaskan bahwa 5 abad sebelum masehi terdapat sekelompok intelektual yang dalam bahasa Yunani disebut dengan ‘sophis’ yang bermakna hakim atau ilmuan. Kelompok ini selain memiliki pengetahuan yang cukup luas terhadap perkembangan ilmu pengetahuan pada zamannya, mereka juga berkeyakinan bahwa tidak ada sama sekali hakikat dan pengetahuan yang bersifat tetap. Mereka berpendapat bahwa tidak ada pengetahuan yang bisa memberikan keyakinan dan makrifat secara pasti. Kerja mereka adalah mengajarkan metode diskusi dan seni dalam berdebat. Mereka melahirkan banyak pengacara untuk membolak-balik fakta yang ada di sidang pengadilan. Mereka mahir membuat kebatilan menjadi kebenaran atau kebenaran menjadi kebatilan. Oleh karena pekerjaan mereka adalah mengajarkan orang-orang bagaimana jatuh dalam kesalahan berpikir, akhirnya suatu saat perlahan-lahan mereka sendiri jatuh dalam kesalahan berpikir tersebut sehingga sampai pada suatu tahap mereka berkeyakinan bahwa tidak ada hakikat atau realitas dibalik pemikiran manusia.
Perjalanan sejarah kemapalaan tak bisa kita lepaskan dari satu nama, ‘Gie’, sosoknya begitu anggun dalam fantasi nakal entitas muda Indonesia kala menggeliat kepanasan diatas ranjang malam pertamanya ketika menjadi pengantin identitas kemahasiswaan. Kelakarnya tak dapat kita jumpai lagi dijaman ini. Namun, ‘buah pengetahuan’-nya kini adalah prima yang menolak jadi penyebab bala. Petantang-petenteng apa yang pernah didirikannya. Warisan Prajnapramita-nya kini hanya menjadi berhala, ‘Gie’ menjadi tumbal dari semua itu, namun Ia tak akan dibebankan dosa atas apa yang tak pernah Ia nazarkan. Karena berhala Mapala semestinya telah hancur bersama ka’bah yang telah menjadi rumah ibadah. Mapala adalah rumah ibadah.
Akhirnya kata ‘sophis’ yang bermakna ilmuan tidak lagi dipakai dikarenakan kata itu lebih dilekatkan pada orang-orang yang terjebak dalam kesalahan berpikir atau orang-orang yang mengingkari realitas.
Sekarang, sebelum berakhir zaman ini, jauh setelah zaman ‘Gie’ terdapat pula sekelompok pemuda yang kita kenal dengan Mapala. Kelompok ini selain memiliki pengetahuan yang cukup luas terhadap teknik kegiatan alam bebas dan slogan-slogan pelestarian alam, mereka juga berkeyakinan bahwa patriotisme akan timbul dengan mendaki puncak-puncak tertinggi di Indonesia, bahkan dunia. Kerja mereka adalah pengeksplorasian alam bebas. Handal dalam metode bertahan hidup dialam bebas, tangguh terhadap tantangan-tantangan alam yang setiap saat mengancam, lincah dan ahli dalam setiap reduksi pengelompokan objek alam bebas yang kini lebih nampak seperti berbagai cabang olahraga. Mereka melahirkan banyak penyembah berhala untuk membolak-balikkan fakta, menjadi alim ulama yang terjebak dalam diri yang ujub karena takjub dalam pembenaran kegiatan alam bebas yang termaktub sebagai ibadah. Kini tampak seolah kebatilan menjadi kebenaran atau kebenaran menjadi kebatilan. Oleh karena sistem pendidikan mereka adalah mengajarkan orang-orang bagaimana selalu jatuh dalam hasrat, hasrat menindas dalam ketertindasan, hasrat diri dalam petualangan ketersesatan diri, hasrat kuasa diatas kejumawaan kaki puncak trangulasi, namun segala itu tak ada implementasi terhadap apa yang dimaknai sebagai pecinta, cinta serta alam yang dicinta -alam ibarat perempuan yang dicintai dengan cara disetubuhi-, akhirnya suatu saat perlahan-lahan mereka sendiri jatuh dalam kesalahan tersebut sehingga sampai pada suatu tahap mereka berkeyakinan bahwa tidak ada sistem pendidikan yang lebih baik dan sesuai dengan karakteristik alam yang kejam dan tak mengenal ampun ini, alam yang begitu rumit dan keras ini, alam yang begitu berbahaya dan unpredictable ini, selain sistem yang telah ada sekarang. Bukankah semestinya nama-nama keindahan dan ketakjuban kebesaran alam-lah yang juga menghiasi sistem pendidikan itu, bukan sebaliknya.
Dalam menghadapi skeptisisme ini Socrates adalah tokoh pertama yang bangkit menentangnya dengan menyerang pandangan-pandangannya. Socrates menyebut dirinya ‘philosophos’ yang berasal dari pecinta (phylos) dan hikmah (sophia).
Sejarah filsafat mencatat bahwa alasan Socrates menamakan dirinya ‘philosophos’ dikarenakan dua hal.Pertama, karena beliau rendah hati dan mengakui akan ketidaktahuannya mengenai sesuatu. Kedua,kritikannya pada kelompok skeptis pada masa itu yang menamakan dirinya kaum ‘sophis’ dimana kelompok ini muncul hanya untuk kepentingan materi dan politik.
Inilah kami; sikap atas pertanyaan apakah ‘organisasi lingkungan hidup’ yang kami sandang hanyalah kedok atau sebaliknya adalah perjuangan idiologi. Namun, sikap ini bukanlah suatu bentuk penegasian terhadap yang lain, melainkan menegaskan ‘diri’ bahwa kami adalah satu bentuk tertentu yang lain.
Dua orang yang berderma terhadap fakir miskin takkan bisa kita hukumi perbuatan baiknya, melainkan pribadi masing-masing orang tersebut, yang menggantungkan perbuatan amalnya pada niat tertentu. Karena kita tampaknya sama, orang-orang yang memuaskan hasrat akan petualangan alam bebas dengan mendaki gunung, namun pemaknaan ini membuatnya betul-betul berbeda. Ada ribuan kemungkinan niat yang secara badihi lalu mewujud dalam satu tindakan yang sama. Ada amal derma yang berlandaskan pengakuan orang lain terhadap dirinya atau paling tinggi Ia ada atas pengharapan akan balasan lipat ganda materi yang telah didermakannya -persis lipat ganda uang ala babi ngepet- dan ada pula yang menafikan diri sehingga amal tersebut semata-mata menjadi karunia Tuhan yang mengalir melalui dirinya. Kedua kemungkinan tersebut sangatlah subjektif.
Harapan terbesar ada dalam sistem pendidikan organisasi, layaknya Socrates terhadap Plato, Plato terhadap Aristoteles, mereka terhadap Al- Farabi, Aristoteles terhadap Avicenna, Plato terhadap Syaikh Isyraq, hingga ke Shadr Al-Muta’allihin kepada setiap keyakinan wahdatul wujud.
“Alam adalah tempat belajar yang baik.”

(hasil diskusi di Balao -Balai Galao)
Asal Mula (Sekret OLH MAHESA), 29 April 2012

When Nature Can Answer
Bacalah, karena alam adalah tempat belajar yang baik..
Alam ini tertera banyak ayat bahkan segala sesuatunya, dalam alam tersebar banyak utusan bahkan apapun itu, yang artinya ada berlimpah ruah pelajaran mengenai hakikat, yang setiap itu melekat pada makhluk ciptaan-Nya. Hanya saja ada kesadaran yang begitu sulit ditemukan dalam diri ini. Bacalah, karena alam adalah tempat belajar yang baik.
Kadang saya membayangkan kehidupan sebagai seekor semut hitam. Sosok makhluk kecil yang didalam banyak ayat menganalogikan sesuatu yang memiliki kemungkinan paling kecil untuk disadari, bahwa dia (seekor semut hitam) yang berada diatas batu hitam kelam dalam pekatnya malam, tak akan lepas dari kesadaran seorang yang menyadari “Diri”-nya.
Pagi ini saya (semut hitam), kembali melakukan rutinitas sehari-hari; keluar dari sarang setelah sepanjang hari beraktivitas memenuhi banyak kebutuhan akan makan dan banyak lagi keinginan akan libido, sangat senang berinteraksi dengan kawan-kawan sesama semut hitam, berjabat-bercengkrama sebarang waktu, kedua antena menggiring ketempat dimana ada makanan, jika badanku sedikit besar lagi mungkin akan kuangkut juga sepiring makanan, entah senyawa apa yang menarikku berjalan kesana-kemari, modus bekerjaku mangikuti naluri, jika sekali hajat ku terancam akan kugigit, akan kugigit, dan akan kugigit, karena seringkali ku terancam oleh pemegang-pemegang kekuasaan, misalnya manusia, tapi mungkin lebih tepat kusebut dengan – binatang lainnya yang jauh lebih besar– yang katanya makhluk paling tinggi derajatnya, namun seringkali kudapati tidak demikian. Saya sangat instinktif, hingga saya kembali lagi kesarang, dan mempersiapkan diri untuk rutinitas esok hari, yang seperti itu lagi, dan yang tak kusadari.
Entah apa yang menarik perhatianku padamu sang sosok semut, hingga ketika kau menggigitku berakhir pula rutinitasmu itu. Gigitanmu menyadarkan pada waktu yang kurasa begitu cepat berlalu, yang ternyata tak bersandar pada pagi, siang ataupun malam, atau pada detik-detik jam dinding, yang kutahu hanya pertanyaan akan kesenangan apa lagi yang ingin dan belum kulakukan, tuntutan dunia apa lagi yang harus kupenuhi, hingga kau datang menggigitku.
Ini berarti: pencarian kembali makna lestari, jika kerusakan lingkungan hanyalah lahan gersang tak subur, pencemaran lingkungan oleh limbah industri ataukah hanya penebangan hutan secara ilegal. Terlebih lagi diriku hanya mendaki, mendaki, dan mendaki puncak  gunung. Karena, dalam diri ada cara pandang dan kesadaran yang sungguh gersang, dalam diri ada limbah yang mengalir dalam setiap ucapan tak bertanggungjawab, dalam diri ada tindakan amoral yang seringkali diwajarkan. Karena yang kudaki hanyalah ego-ego yang hanya mengantarkanku pada puncak egosentrism.
Lihatlah megah makna lingkungan, jika begitu eksklusifnya menjadi sang “pencinta” dan “alam”-lah yang ingin dicinta. Mencari makna hidup dalam keterasingan diri dalam sokongan daun lontar sementara jagad raya ini begitu luas, tak terhingga, tak terjangkau, yang ungkapan-ungkapan itu hanyalah keterbatasan khayal yang manusia miliki.
Bahwa setiap kita yang terdalam tak memiliki alasan untuk mengingkari kemungkinan keberadaan semut kecil hitam diatas kelamnya batu hitam dalam pekatnya malam.
Kesadaran itu ada dalam alam malam, dan bahwa setiap kita memiliki semut kecil hitam yang tak kita sadari yang mempertanyakan kehidupannya diatas batu hitam kelam. Yang menjalankan kehidupannya dalam ketak-sadaran diri, kehitaman diri diatas batu hitam. Malam menjadi hilang diri karena menyatu bersama batu yang hitam. Batu menjadi samar karena malam melingkupi dan menyatu. Apalagi kau, sang semut yang tercipta hitam dilingkupi namun tak menyadari, menyatu namun mengingkari. Siapa yang menanggung keadaan itu? Semut yang hitam? Alam yang hitam?
Menyadari ketakterbayangkannya alam ini (kosmologi), akan sedikit membantu kita dalam kesahajaan tindakan, ucapan dan pemikiran (cara pandang). Namun, hal itu bukanlah hanya sebentuk gagasantranscendental yang berakhir pada rangkaian kalimat logis menggugah hati yang rindu, lantas mengawang diudara menguap bersama bunyi-bunyi yang melalui rongga, tak beda dengan kentut busuk. Bahwa menyadari kosmos yang maha luas, berarti menjadi gelisah akan kosmos diri yang begitu dalam.
Sebaiknya Renungkan kembali mengapa kita harus ke Gunung?
Manusia selalu takut akan bencana serta kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan olehnya namun tanpa disadarinya kerusakan yg paling parah justru berasal dari dalam manusia itu sendiri…alam bisa mengontrol dirinya sendiri sementara tanpa kita sadari bencana kemanusiaan yang paling parah justru berasal dari manusianya itu sendiri.
Sosok pencinta alam sebagaimana yang kita ketahui adalah sosok yang diharapkan bisa menjadi pelopor dalam  menjaga serta melestarikan alam beserta kehidupan didalamya mencakup bagaimana dalam berpola serta berprilaku dalam kehidupan sehari-hari namun ironisnya, sebagaimana yang kita lihat dalam realitas yang sementara berkembang justru sosok pencinta alam tidak (ataukah belum) berada dalam kondisi yang kita harapkan bersama (FAKTA)..
Tidak ada yang salah dengan PENCINTA ALAMnya, sosok yang berada dalam PENCINTA ALAM tersebut yang tanpa dia sadari yang bertingkah seolah peduli namun kenyataannya tidak ambil pusing sama sekali akan keadaan tersebut. Alih-alih peduli akan Alam, peduli akan dirinya sendiri pun kita mungkin sepakat untuk mengatakan tidak!!! Apakah betul bisa kita katakan peduli apabila masih ada yang juga sosok pencinta alam yang masih mengkonsumsi minuman keras dan obat-obatan terlarang??? Apakah ini yang kita namakan cinta??? tak ada dasar sama sekali akan hubungan yang simetris tentang menjaga kelestarian lingkungan beserta kehidupan didalamnya dengan masih mengkonsumsi barang-barang haram tersebut.
Belum lagi pengetahuan yang mendasar terkadang hanya dijadikan sebagai materi yang merupakan PROGRAM KERJA tanpa disadari akan pentingnya untuk dimiliki bagi setiap sosok tersebut. Bagaimana bisa untuk berbuat kalau kita tak tahu dan sama sekali tak paham??? Maka yang ada di dalam kepala sosok tsb hanyalah bagaimana untuk bisa SURVIVE ataukah keterampilan-keterampilan lainnya tanpa pernah mau untuk menyadari untuk apa dia harus pahami pengetahuan akan keterampilan tersebut. Apakah sosok pencinta alam tidak lagi harus belajar untuk mengetahui hal-hal yang lain selain daripada sekedar materi-materi keterampilan kepencintaalaman??
Sosok pencinta alam seolah-olah menjadi momok yang menakutkan dalam setiap sisi kehidupannya. Arogansi, solidaritas buta, dsb bisa kita ketemukan didalam sosok tsb. Bagaimana tidak??? Untuk bisa menjadi sosok pencinta alam harus melalui proses “diklat (atau apapun namanya)” yang notabene kekerasan bahkan”MENCABUT HAK ASASI MANUSIA” bisa kita temui di dalamnya. Berarti setiap sosok pencinta alam bisa berpeluang untuk menjadi penjahat Hak asasi manusia? Sangat kontradiksi dengan kata CINTA yang ada didalam nama PENCINTA ALAM tersebut.
Tak ada yang salah dengan PENCINTA ALAM, yang (mungkin) salah adalah sosok-sosok yang dengan bangganya kebetulan berada didalamnya yang dengan kebanggaannya tak mau lagi mengerti apalagi sadar untuk apa dia berada didalam organisasi yang sebenarnya suci tersebut, yang (mungkin) salah adalah sosok-sosok yang dengan bangganya kebetulan berada didalamnya yang dengan kebanggaannya tak mau lagi untuk mendengar saran serta kritikan-kritikan dari luar seolah Cuma sosok pencinta alam saja manusia yang hidup. MANUSIA adalah Khalifah yang diturunkan untuk menjaga dan melestarikan Alam beserta seluruh kehidupan didalamnya, dan sosok pencinta alam bukanlah satu-satunya manusia di muka bumi ini. Seluruh warga bumi berhak untuk menjaga dan melestarikan Alam beserta seluruh kehidupan didalamnya.
Percuma naik gunung jikalau menaklukkan diri sendiri saja sulit untuk dilakukan. Seharusnya segala sisi-sisi kelam manusia bisa dikeluarkan bersamaan dengan bercucurannya keringat yang menetes dalam perjalanan menuju ke puncak gunung. Puncak gunung yang sebenarnya justru berada dalam diri manusia itu sendiri.
Rasa-rasanya memang betul perlu ditinjau kembali mengapa setiap sosok pencinta alam harus ke puncak gunung padahal alam bukan hanya gunung saja…pencinta alam bukan pencinta gunung. Seharusnya setiap sosok pencinta alam mulai sekarang harus bisa untuk membuka mata dan hati untuk bisa melihat bahwasanya untuk menjaga serta melestarikan alam beserta kehidupan didalamnya harus berarti pula untuk bisa menjadi khalifah yang baik. Maksudnya, semoga bisa menjadi teladan yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Mulai untuk membuka mata bahwasanya dengan memperhatikan manusia lain beserta kondisi disekelilingnya hal itu berarti langkah awal untuk menuju ke puncak gunung yang sebenarnya. Bukan puncak gunung yang biasa kita daki bersama.
Jikalau tak berbenah dan segera mengevaluasi diri, bukan tidak mungkin PENCINTA ALAM bisa kehilangan kesuciannya didalam perjuangan yang sebenarnya mulia ini. Bagaimana di satu sisi bisa memanusiakan manusia dalam sebuah konteks kaderisasi  dan sementara disisi lain berperan aktif didalam tugasnya sebagai khalifah di muka bumi ini. Salam untuk sebuah perubahan yang kecil menuju sebuah perubahan yang lebih besar.  Mulia ataukah hinanya sebuah organisasi berawal dari kesadaran-kesadaran penghuninya yang membawa nama baik organisasinya. Karena sebenarnya kesalahan-kesalahan sosok bisa diindikasikan sebagai suatu kesalahan-kesalahan organisasi yang menaungi sosok tersebut. Berpijak dari hal yang kecil untuk kemudian dihadapkan dengan realita-realita  dan membentuk sebuah kesadaran kritis dalam berpola serta berprilaku dalam kehidupan sehari-hari.  Semoga ide-ide yang tulus akan selalu selaras dengan realita-realita yang baik.
  
Analisis Pernyataan Soe Hok Gie Dan Mahasiswa Pencinta Alam
Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami Kami katakan bahwa :
Kami adalah manusia – manusia yang tidak percaya pada slogan Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan – slogan Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat Karena itu Kami naik gunung”

Pernyataan Soe Hok Gie diatas jika di runut dari akhir ke awal atau dipahami (dibaca) dari kata terakhir ke kata pertama; maka akan menjadi :
Karena itu Kami naik gunung :
Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat
“ Jika MPA Indonesia mendaki gunung (dengan mendaki gunung) maka Fisik dan Jiwa MPA Indonesia akan sehat
(di dalam badan yang sehat terdapat jiwa yang kuat, maka bersembahyanglah)
dan, mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat
dan, Saat MPA Indonesia naik gunung maka akan terjadi interaksi dengan lingkungan
Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya
dan, Proses interaksi akan bermuara pada pengenalan (dengan seluruh tingkatan pengenalan)
dan, Dari pengenalan yang mendalam akan hadir kata cinta anugrah Illahi
Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan – slogan
Kami adalah manusia – manusia yang tidak percaya pada slogan
dan, kehadiran cinta anugrah Illahi akan membentuk kesadaran untuk peduli (beralaskan kecintaan)
dan, Sikap kesdaran untuk peduli akan berujung keikhlasan untuk membantu (membantu dalam kebaikan; ciri kepahlawanan)
dan, Ini semua tidak mungkin diperoleh dengan kebohongan (lain ucapan lain pula tindakan)
dan sikap membantu dalam kebaikan merupakan salah satu fungsi dasar manusia
dan, Manusia yang dimaksud Adalah Mahasiawa Pencinta Alam (MPA) Indonesia
Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami Kami katakan bahwa :
dan,Inilah penjelasan terbaik kami Mahasiswa Pencinta Alam (MPA) Indonesia
Pendekatan Filosofis – Pencinta Alam (Bagian 1)
“setiap langkah yang engkau lakukan sangat tergantung pada langkah terakhir yang engkau pikirkan”, (nevyjamest)
“Pencinta Alam”, kalimat yang kian menguat dan akhirnya menjadi bagian dari detak kehidupan masyarakat Indonesia.
Kalimat yang mudah diingat dan dekat dengan kehidupan ; Cinta dan Alam.
Komunitas kalimat tersebut umumnya berasal dari segmen masyarakat yang cukup terhormat, Mahasiswa ! Serta mereka yang menghargai kebebasan dalam kehidupan dan tidak sekedar hidup. Komunitas ini lalu melembagakan kalimat tersebut dengan sebutan mahasiswa pencinta alam atau mpa (tidak sama antara mpa dan mapala).
Komunitas tersebut lalu berusaha tegak berjalan dalam jepitan waktu, pancangkan panji kelembagaan di puncak kehidupan berbangsa yang kian gersang.
Jelang lima dekade terakhir komunitas tersebut masih ada dan tetap seperti itu. Wajarlah jika bukan hanya masyarakat yang ajukan sejumlah tanya tetapi ironisnya komunitas tersebut pun sebenarnya tanpa sadar tenggelam dalam kebingungan : Siapa sebenarnya mereka !
Komunitas ini ada tapi tidak eksis, memiliki waktu tanpa ruang, memiliki ruang tanpa materi, memiliki materi tanpa nilai, dan seterusnya.
“Pencinta Alam”, kalimat tersebut terkesan gampangan untuk dipahami sehingga sangat murah dijadikan tiket legitimasi dalam pergaulan sosial dan politik praktis.
“Pencinta Alam”, mudah diingat sering dilupakan.
“Pencinta Alam”, terlalu dekat untuk dijangkau.
Pertanyaan dasar :
Apa yang dimaksud dengan pencinta alam dan mahasiswa pencinta alam ?
Bagaimana proses memahami pencinta alam dan bagaimana mahasiswa pencinta alam berproses ?
Seperti apa tujuan manfaat pencinta alam dan mahasiswa pencinta alam ?
ada 2 (dua) pendekatan untuk dapat mengerti dan memahami arti “Pencinta Alam dan Mahasiswa Pencinta Alam”, yakni :
Pendekatan Filosofis
Pendekatan Historis
Pencinta Alam Pendekatan Filosofis Sandaran berpikir, bahwa :“Allah SWT telah menciptakan Alam dan Manusia”
Beberapa aspek maknawiah dari kebenaran umum diatas, antara lain :
Penegasan eksistensi keilahian Sang Maha Pencipta
Yang diciptakan Allah SWT ialah Alam dan Manusia
Alam dan Manusia adalah cermin eksistensi keilahian Sang Maha Pencipta
Alam dan Manusia menurut pandangan Allah SWT
Alam dan Manusia merupakan relasi keterikatan tak terpisahkan
Alam dan Manusia adalah ciptaan yang mengabdi kepada Sang Maha Pencipta
Proses interaksi antara Manusia dan Alam senantiasa disandarkan hanya kepada Sang Maha Pencipta – Allah SWT.
Apa yang dimaksud dengan Pencinta Alam?
Cerminan interaksi antara Manusia dan Alam inilah yang diejawantahkan dalam suatu kata / kalimat / istilah, yakni : Pencinta Alam.
Secara filosofis, Pencinta Alam hanyalah suatu istilah ekspresif dari hubungan Manusia dan Alam sebagai suatu sistem yang tunduk bersandar kepada Sang Maha Pencipta – Allah SWT.
operasional, Pencinta Alam merupakan suatu statement tentang pentingnya menjaga keharmonisan hubungan antara Manusia dan Alam yang beralaskan kesadaran dan kecintaan.
Aplikatif, “Pencinta Alam” menjadi suatu konsepsi atau pun metode edukatif yang efektif dalam proses pembelajaran dan peningkatan kualitas diri manusia.
Kekeliruan dalam memahami “Pencinta Alam” selama ini terletak pada pendekatan gramatikal (“Pencinta = subjek, orang yang mencintai; “Alam” = Objek, yang dicintai; sehingga “Pencinta Alam = kumpulan orang – orang yang mencintai dan peduli terhadap alam).
Kekeliruan diatas adalah gambaran kekacauan dalam berpikir yang akhirnya bermuara pada anggapan bahwa “Pencinta Alam” merupakan suatu bakat / minat / hobbi / profesi serta terjebak dalam diskusi huruf “N”, dan menjadi sempurna saat tidak mampu membedakan antara “Pencinta Alam” dan “Petualangan”.
Mahasiswa Pencinta Alam (MPA) Pendekatan Filosofis
Mahasiswa Pencinta Alam merupakan organisasi kemahasiswaan yang berkedudukan dalam suatu intitusi pendidikan tinggi yang dibentuk sebagai wadah pendidikan kepencintaalaman.
Dalam penyelenggaraanya diharapkan dapat menyampaikan secara tepat hal – hal yang dimaksud dengan pendidikan kepencintaalaaman.
Secara filosofis ketika “Pencinta Alam” dilembagakan (mpa = mahasiswa pencinta alam ; kpa = kelompok pencinta alam) akan berpotensi untuk mengenyampingkan nilai kepencintaalaman dalam pencapaian tujuan politik kelembagaannya.
Bagaimana proses memahami Pencinta Alam?
Prosesnya : Pendidikan dan Belajar !
Syarat sesuatu dapat dikatakan mengandung unsur “Pendidikan”, jika dalam prosesnya mennyampaikan nilai – nilai dasar kemanusiaan.
Manusia terlahir sebagai pembelajar, tetapi setelah manusia beranjak besar menjadi enggan untuk belajar.
Belajar merupakan proses keilmuan diri dan kedirian ilmu;
dan tidak tinggi hati merupakan syarat dasar dalam proses belajar;
sehingga tujuan belajar agar dapat membedakan hal baik dan hal buruk dapat tercapai.
Cara belajar yang terbaik bagi komunitas pencinta alam ialah berkunjung ke Alam Bebas (bahkan ini menjadi semacam hukum dasar).
Pada dasarnya Alam Bebas itu tidak nyata.
Alam Bebas hanya ada dalam bentuk wacana dan mimpi manusia.
Alam Bebas merupakan suatu dimensi yang terbuka bagi siapa saja dan memberikan kebebasan kepada siapa saja yang mengunjunginya.
Proses masuk berkunjung / beraktivitas di alam bebas itulah yang disebut Petualangan, yakni; Suatu tindakan memasuki dimensi ketidaktahuan, penuh misteri dan sarat kejutan atau hal – hal yang tidak terduga.
Kedudukan “Pencinta Alam” sangat berbeda dengan “Petualangan”, tetapi memiliki keterkaitan erat dan tidak dapat dipisahkan.
Komunitas “Pencinta Alam” dalam prosesnya akan melakukan aktivitas petualangan atau dengan kata lain, bahwa;
Tidaklah sama kedudukan komunitas Pencinta Alam mendaki gunung dengan pendaki gunung mendaki gunung.


Tujuan manfaat Pencinta Alam
Membangun pemahaman yang dalam terhadap hubungan Sang Maha Pencipta Allah SWT – Manusia – Alam.
Membangun pemahaman yang kokoh terhadap konsepsi Alam dan Manusia.
Membangun kesadaran terhadap fungsi dan kedudukan sebagai Manusia.
Pencinta Alam Pendekatan Historis
Sisi sejarah “Pencinta Alam” erat terkait pada perjalanan sejarah mpa (mahasiswa pencinta alam) dengan sandaran berpikir, bahwa : “Istilah Pencinta Alam”secara resmi dikenal melalui organisasi mahasiswa pencinta alam”
Indonesia era tahun 1960-an;
Merupakan salah satu era transisi dalam berbangsa. yang sangat mempengaruhi alam pemikran masyarakat Indonesia.
Perekonomian hancur, angka kemiskinan sangat tinggi, korupsi merajalela, kedaulatan NKRI belum tuntas, trikora dicanangkan untuk membebaskan Irian Barat, suhu politik memanas, Badan kepanduan Indonesia menjadi Pramuka, Pencetusan kelahiran WANADRI – Perhimpunan pendaki gunung dan penjelajah rimba (suatu organisasi kepetualangan), kemunculan angkatan 66, G30SPKI dan Supersemar serta kejatuhan orde lama, dll dst.
Ditengah buruknya cuaca Ipoleksosbud di Indonesia pada sat itu, perlahan nan pasti, tumbuhlah pohon pencinta alam yang kini telah menjadi ribuan pohon dengan aneka rasa buah warna dan dedaunan. Pohon – pohon tersebut senantiasa tumbuh dan berkembang; karena cinta adalah anugerah Illahi yang selalu hadir di sembilan alamnya.
Aliran kecil jejak sejarah pertumbuhan pohon tersebut berawal dari Fakultas Sastera Universitas Indonesia (FSUI), kampus Salemba Jakarta, melalui sebuah kelompok kecil (small group) bernama FM atau Fakir Miskin yang dipelopori oleh Soe Hok Gie.
Masuk kampus dengan pakaian compang camping dan bertelanjang kaki merupakan gambaran penampilan teatretikal anggota FM untuk mengekspresikan keadaan masyarakat Indonesia yang sangat miskin .
Pucuk kegelisahan FM terhadap keadaan akan dinyatakan dalam aksi demonstrasi untuk menyampaikan pemikiran yang cerdas dan Indonesialis.
Untuk menjaga kemurnian perjuangan FM dilakukan dengan cara Mendaki Gunung; Bagi mereka ke gunung merupakan suatu upaya untuk membersihkan diri dan membuka cakrawala berpikir.
Soe Hok Gie, seorang Tionghoa nasionalis dan salah seorang tokoh pergerakan mahasiswa Indonesia, melalui pemikiran inspiratif bersama sejumlah mahasiswa FSUI, pada penghujung tahun 1964 membentuk wadah membentuk wadah perjuangan yang diberi nama IMPALA (Ikatan Mahasiswa Pencinta Alam) FSUI.
Pada tahun 1970, langsung atau tidak langsung, sosok Soe Hok Gie ikut memberi jiwa dalam penyatuan small group dan membentuk wadah yang selanjutnya dikenal dengan MAPALA – UI.
Small group yang dimaksud merupakan kelompok – kelompok pergerakan perjuangan mahasiswa yang warna kegiatannya menyatukan fungsi mahasiswa sebagai social controle dan kegiatan kepetualangan;
Substansinya tidak berada pada tataran nama small group yang harus memiliki nuansa inisial cinta dan alam tetapi lebih kepada tujuan manfaat dalam konteks berbangsa dan bertanah air.
Kelompok apa saja yang menggunakan inisial bernuansa pencinta alam di Universitas Indonesia saat itu, bukan menjadi titik keistimewaan karena lebih internalistik dan belum “layak jual”, sehingga hanya melalui nama MAPALA – UI, jejak sejarah diperkenalkannya secara resmi istilah “Pencinta Alam”, menjadi lebih jelas, rasional dan berkekuatan hukum ( MAPALA – UI organisasi legal formal dan bukan small group).
Meskipun kehadiran nama MAPALA – UI terjadi pada tahun 1970 tetapi tahun kelahiran organisasi tersebut tidak mengacu pada tahun tahun 1970. Hal ini memberikan indikasi tentang adanya pertimbangan politik strategis yang jauh kedepan.
Untuk itu dapat ditegaskan bahwa :
Istilah “Pencinta Alam” untuk pertama kali secara resmi diperkenalkan oleh organisasi MAPALA – UI pada tahun 1970.
Penyampaian istilah tersebut tidak diikuti dengan suatu penjelasan yang mendalam dan universal sesuai kaidah keilmuan dan filosofis.
   
Mahasiswa Pencinta Alam (MPA) Pendekatan Historis
Bersandar pada pertimbangan tersebut diatas, maka dapat dikatakan bahwa :
Nama organisasi kepencintaalaman dengan akronim MAPALA (Mahasiswa Pencinta Alam) untuk pertama kali diperkenalkan oleh MAPALA – UI.
Situasi kehidupan IPOLEKSOSBUD bangsa dan Negara pada era tersebut ikut mempengaruhi warna dan proses kelahiran MAPALA – UI.
Landasan perjuangan MPA (Mahasiswa Pencinta Alam) telah dipersiapkan oleh SOE HOK GIE (1969), sebagai berikut :
Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami
Kami katakan bahwa :
Kami adalah manusia – manusia yang tidak percaya pada slogan Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan – slogan Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itu Kami naik gunung”
Statement diatas disampaikan Soe Hok Gie melalui sebuah media cetak nasional, usai melakukan pendakian di gunung Slamet tahun 1969;
Statement tersebut adalah cermin tingkat kesadaran dan kecerdasan Soe Hok Gie sebagai seorang mahasiswa pencinta alam dalam berbangsa dan bernegara.
Soe Hok Gie telah menjawab mengapa mahasiswa pencinta alam mendaki gunung serta meletakkan visi mahasiswa pencinta alam (mpa) Indonesia.
Melalui statement Soe Hok Gie tersebut, tersirat menjadi contoh bagaimana menjadi mahasiswa pencinta alam yang sebenarnya, terutama dalam konteks psikologis, berbudaya, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara

sumber : 
https://bocahamik.wordpress.com/dunia-ilmu/sejarah-pencinta-alam/

No comments:

Post a Comment