Istilah Pecinta Alam di Indonesia sebenarnya belum lama dikenal. Dahulu memang sudah ada kelompok-kelompok yang bergerak di bidang lingkungan hidup dan konservasi alam. Sejarah tentang kelompok Pecinta Alam, terutama yang ada kaitannya dengan upaya pelestarian alam, sudah tercatat sejak tahun 1912, dengan terbentuknya De Nederlandsh Indische Vereneging Tot Natuur Rescherming. Kemudian Pemerintah Hindia Belanda mulai terlibat secara konkret sejak tahun 1937, dengan terbentuknya Bescherming Afdeling Van’t Land Plantetuin. Sejak saat itu kegiatan kepecintaalaman mulai berkembang di Indonesia.
Pada Awal tahun 1960-an kegiatan yang
berorientasi pada pelestarian alam ini mendapat pengaruh yang cukup besar
dari kegiatan kepanduan (scouting). Pandu, yang kini dikenal dengan nama
Pramuka, berkembang pesat sejak tahun 1940-an, dan memang jenis kegiatan
yang sering dilakukannya adalah kegiatan olahraga, rekreasi, petualangan,
membaca jejak dan ketrampilan lainnya. Mau tidak mau, memang harus kita
akui, bahwa kegiatan kepecintaalaman bertambah muatannya dengan
jenis-jenis kegiatan petualangan karena adanya pengaruh dari kepanduan.
Istilah “Pecinta Alam” pertama kali
diperkenalkan oleh Mapala Universitas Indonesia pada tahun 1975. Setelah
berulang kali berganti nama, akhirnya mereka menamakan kelompoknya Mapala
UI. Setelah itu, terutama di era 1980-an, perkembangan kelompok-kelompok
Pecinta Alam semakin pesat di seluruh tanah air, sampai sekarang ini.
PECINTA ALAM
Kalau kita menilik asal katanya,
‘Pecinta’ artinya orang yang mencintai, dan alam dapat diartikan segala
sesuatu yang ada di sekitar kita. Kalau kita perjelas lagi, alam berarti
segalanya, baik benda hidup maupun benda tak hidup, yang ada di dunia ini.
Udara, tanah, dan air merupakan bagian dari alam yang
membantu kelangsungan hidup kita. Demikian pula dengan tanaman, hewan, dan
manusia,mereka termasuk bagian dari alam ini. Keberadaan mereka satu dengan
yang lain saling mempengaruhi. Jadi, jelas bahwa diri kita masing-masing
pun merupakan bagian dari alam semesta ini. Lalu dapatkah kita mengatakan
bahwa Pecinta Alam adalah orang yang mencintai alam semesta beserta
isinya, termasuk dirinya sendiri. Bagaimana pula dengan mereka yang
memiliki hobby bertualang di alam bebas? Dapatkah mereka kita sebut
Pecinta Alam? Tampaknya memang ada kerancuan makna dalam istilah “Pecinta
Alam” tersebut: antara mereka yang mencintai alam (lingkungan) dengan
mereka yang gemar berpetualang di alam bebas. Sebagai pembanding, di Eropa
dan Amerika ada suatu terminologi yang jelas bagi mereka yang berkecimpung
dalam dunia kepecintaalaman, misalnya envi-ronmentalist (pecinta
lingkungan hidup: Green Peace), naturlist (pecinta alam seperti
sebagaimana adanya), adventure (petualangan/penjelajah),
mountaineers (pendaki gunung), outdoor sports/activities (olahraga alam
bebas: berkemah, gantole, menelusuri gua , masuk hutan, menyususri gua,
dan semestinya).
Di Indonesia, Pecinta Alam adalah
pendaki gunung, penulusuran gua, pengarungan sungai, pemanjat tebing dan
sekaligus pecinta lingkungan. Hingga saat ini baru sedikit kelompok yang
mengkhususkan aktivitasnya pada salah satu bidang saja. Oleh karena itu,
mungkin akan lebih tepat bila dikatakan bahwa Pecinta Alam adalah
orang-orang yang menCINTAI ALAM beserta segala isinya, dan yang menCINTAI
petualangan alam bebas.
Istilah Pecinta Alam di Indonesia
sebenarnya belum lama dikenal. Dahulu memang sudah ada kelompok-kelompok yang
bergerak di bidang lingkungan hidup dan konservasi alam. Sejarah tentang
kelompok Pecinta Alam, terutama yang ada kaitannya dengan upaya pelestarian
alam, sudah tercatat sejak tahun 1912, dengan terbentuknya De Nederlandsh
Indische Vereneging Tot Natuur Rescherming. Kemudian Pemerintah Hindia
Belanda mulai terlibat secara konkret sejak tahun 1937, dengan terbentuknya
Bescherming Afdeling Van’t Land Plantetuin. Sejak saat itu kegiatan
kepecintaalaman mulai berkembang di Indonesia. Pada Awal tahun 1960-an
kegiatan yang berorientasi pada pelestarian alam ini mendapat pengaruh yang
cukup besar dari kegiatann kepanduan (scouting). Pandu, yang kini dikenal
dengan nama Pramuka, berkembang pesat sejak tahun 1940-an, dan memang jenis
kegiatan yang sering dilakukannya adalah kegiatan olahraga, rekreasi,
petualangan, membaca jejak dan ketrampilan lainnya. Mau tidak mau, memang harus
kita akui, bahwa kegiatan kepecintaalaman bertambah muatannya dengan
jenis-jenis kegiatan petualangan karena adanya pengaruh dari
kepanduan. Istilah “Pecinta Alam” pertama kali diperkenalkan oleh Mapala
Universitas Indonesia pada tahun 1975. Setelah berulang kali berganti nama,
akhirnya mereka menamakan kelompoknya Mapala UI. Setelah itu, terutama di
era 1980-an, perkembangan kelompok-kelompok Pecinta Alam semakin pesat di
seluruh tanah air, sampai sekarang ini.
PECINTA ALAM
Kalau kita menilik asal katanya,
‘Pecinta’ artinya orang yang mencintai, dan alam dapat diartikan segala sesuatu
yang ada di sekitar kita. Kalau kita perjelas lagi, alam berarti segalanya,
baik benda hidup maupun benda tak hidup, yang ada di dunia ini. Udara, tanah,
dan air merupakan bagian dari alam yang membantu kelangsungan hidup kita.
Demikian pula dengan tanaman, hewan, dan manusia, mereka termasuk bagian dari
alam ini. Keberadaan mereka satu dengan yang lain saling mempengaruhi. Jadi,
jelas bahwa diri kita masing-masing pun merupakan bagian dari alam semesta ini.
Lalu dapatkah kita mengatakan bahwa Pecinta Alam adalah orang yang mencintai
alam semesta beserta isinya, termasuk dirinya sendiri. Bagaimana pula dengan
mereka yang memiliki hobby bertualang di alam bebas? Dapatkah mereka kita sebut
Pecinta Alam? Tampaknya memang ada kerancuan makna dalam istilah “Pecinta Alam”
tersebut: antara mereka yang mencintai alam (lingkungan) dengan mereka yang
gemar berpetualang di alam bebas. Sebagai pembanding, di Eropa dan Amerika ada
suatu terminologi yang jelas bagi mereka yang berkecimpung dalam dunia
kepecintaalaman, misalnya envi-ronmentalist (pecinta lingkungan hidup: Green
Peace), naturlist (pecinta alam seperti sebagaimana adanya), adventure
(petualangan/penjelajah), mountaineers (pendaki gunung), outdoor
sports/activities (olahraga alam bebas: berkemah, gantole, menelusuri gua ,
masuk hutan, menyususri gua, dan semestinya).Di Indonesia, Pecinta Alam adalah
pendaki gunung, penulusuran gua, pengarungan sungai, pemanjat tebing dan
sekaligus pecinta lingkungan. Hingga saat ini baru sedikit kelompok yang
mengkhususkan aktivitasnya pada salah satu bidang saja. Oleh karena itu,
mungkin akan lebih tepat bila dikatakan bahwa Pecinta Alam adalah orang-orang
yang menCINTAI ALAM beserta segala isinya, dan yang menCINTAI petualangan alam
bebas.
AKTIVITAS PECINTA ALAM (DI INDONESIA)
Kegiatan Pecinta Alam termasuk dalam kegiatan yang mempunyai resiko tinggi (high risk activity) dan kegiatan lebih banyak dilakukan di alam bebas (outdoor activity). Sebagian besar kelompok Pecinta Alam memiliki kegiatan pokok dalam bidang kegiatan alam bebas seperti pendakian gunung, pemanjatan tebing, penelusuran gua, jelajah hutan, penelusuran sungai, penyusuran pantai, dan arung jeram. Kegiatan-kegiatan tersebut perlu didukung dengan pengetahuan dan kegiatan penunjang seperti pengetahuan tentang orientasi medan (navigasi), pengetahuan survival, ketrampilan tali-temali, pengepakan peralatan, penguasaan PPPK, dan pengetahuan sekaligus ketrampilan mengenai SAR. Kegiatan penunjang tersebut akan banyak membantu dan diperlukan untuk menghindari atau mengurangi resiko yang sangat mungkin terjadi. Disamping itu Pecinta Alam masih perlu didukung dengan pengetahuan dan kegiatan dalam bidang lingkungan hidup seperti konservasi alam, penghijaun, bersih lingkungan, dan sebagainya. Juga kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat seperti bakti sosial, penelitian sosial, penyuluhan, dan sebagainya. Terakhir adalah kegiatan yang bersifat organisatoris seperti manajemen organisasi, regenerasi keanggotaan, kaderisasi anggota, pengembangan SDM bagi anggota, dan seterusnya. Jelas kiranya bahwa Pecinta Alam merupakan suatu kegiatan yang positif dan memiliki arti serta peran yang sangat bermanfaat bagi pengembangan pribadi, orang lain dan masyarakat. Satu pertanyaan tersisa adalah : “Mampukah kita memanfaatkan kesempatan untuk mengembangkan diri kita melalui kegiatan kepecintaalaman ? Materi Pencinta Alam didalam aktivitasnya sehari-hari sebagaimana yang dimaknakan dalam unsur kata Cinta dan Alam.” Ingatlah hai engkau penjelah alam :
Kegiatan Pecinta Alam termasuk dalam kegiatan yang mempunyai resiko tinggi (high risk activity) dan kegiatan lebih banyak dilakukan di alam bebas (outdoor activity). Sebagian besar kelompok Pecinta Alam memiliki kegiatan pokok dalam bidang kegiatan alam bebas seperti pendakian gunung, pemanjatan tebing, penelusuran gua, jelajah hutan, penelusuran sungai, penyusuran pantai, dan arung jeram. Kegiatan-kegiatan tersebut perlu didukung dengan pengetahuan dan kegiatan penunjang seperti pengetahuan tentang orientasi medan (navigasi), pengetahuan survival, ketrampilan tali-temali, pengepakan peralatan, penguasaan PPPK, dan pengetahuan sekaligus ketrampilan mengenai SAR. Kegiatan penunjang tersebut akan banyak membantu dan diperlukan untuk menghindari atau mengurangi resiko yang sangat mungkin terjadi. Disamping itu Pecinta Alam masih perlu didukung dengan pengetahuan dan kegiatan dalam bidang lingkungan hidup seperti konservasi alam, penghijaun, bersih lingkungan, dan sebagainya. Juga kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat seperti bakti sosial, penelitian sosial, penyuluhan, dan sebagainya. Terakhir adalah kegiatan yang bersifat organisatoris seperti manajemen organisasi, regenerasi keanggotaan, kaderisasi anggota, pengembangan SDM bagi anggota, dan seterusnya. Jelas kiranya bahwa Pecinta Alam merupakan suatu kegiatan yang positif dan memiliki arti serta peran yang sangat bermanfaat bagi pengembangan pribadi, orang lain dan masyarakat. Satu pertanyaan tersisa adalah : “Mampukah kita memanfaatkan kesempatan untuk mengembangkan diri kita melalui kegiatan kepecintaalaman ? Materi Pencinta Alam didalam aktivitasnya sehari-hari sebagaimana yang dimaknakan dalam unsur kata Cinta dan Alam.” Ingatlah hai engkau penjelah alam :
1.Take
nothing, but pictures [jangan ambil sesuatu kecuali gambar]
2.Kill nothing, but times [jangan bunuh sesuatu kecuali waktu]
3.Leave nothing, but foot-print [jangan tinggalkan sesuatu kecuali jejak kaki]
2.Kill nothing, but times [jangan bunuh sesuatu kecuali waktu]
3.Leave nothing, but foot-print [jangan tinggalkan sesuatu kecuali jejak kaki]
dan senantiasa ;
1.Percaya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa
2.Percaya kepada kawan [dalam hal ini kawan adalah rekan penggiat dan
peralatan serta perlengkapan, tentu saja juga harus dibarengi bahwa diri kita sendiri juga dapat dipercaya oleh “teman” tersebut dengan menjaga, memelihara dan melindunginya]
3.Percaya kepada diri sendiri, yaitu percaya bahwa kita mampu melakukan segala sesuatunya dengan baik.
1.Percaya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa
2.Percaya kepada kawan [dalam hal ini kawan adalah rekan penggiat dan
peralatan serta perlengkapan, tentu saja juga harus dibarengi bahwa diri kita sendiri juga dapat dipercaya oleh “teman” tersebut dengan menjaga, memelihara dan melindunginya]
3.Percaya kepada diri sendiri, yaitu percaya bahwa kita mampu melakukan segala sesuatunya dengan baik.
Sejarah
Pencinta Alam Serta Perkembangannya
Apabila sejenak kita merunut dari
belakang, sebetulnya sejarah manusia tidak jauh-jauh amat dari alam. Sejak
zaman prasejarah dimana manusia berburu dan mengumpulkan makanan, alam adalah
“rumah” mereka. Gunung adalah sandaran kepala,padang rumput adalah tempat
mereka membaringkan tubuh, dan gua-gua adalah tempat mereka bersembunyi.
Namun sejak manusia menemukan kebudayaan, yang katanya
lebih “bermartabat”, alam seakan menjadi barang aneh. Manusia mendirikan
rumah untuk tempatnya bersembunyi. Manusia menciptakan kasur untuk tempatnya
membaringkan tubuh, dan manusia mendirikan gedung bertingkat untuk mengangkat
kepalanya. Manusia dan alam akhirnya memiliki sejarahnya
sendiri-sendiri. Ketika keduanya bersatu kembali, maka ketika itulah
saatnya Sejarah Pecinta Alam dimulai :
Pada tahun 1492 sekelompok orang
Perancis di bawah pimpinan Anthoine de Ville mencoba memanjat tebing Mont
Aiguille (2097 m), dikawasan Vercors Massif. Saat itu belum jelas apakah mereka
ini tergolong pendaki gunung pertama. Namun beberapa dekade kemudian, orang-orang
yang naik turun tebing-tebing batu di Pegunungan Alpen adalah para pemburu
chamois, sejenis kambing gunung. Barangkali mereka itu pemburu yang mendaki
gunung. Tapi inilah pendakian gunung yang tertua pernah dicatat dalam
sejarah. Di Indonesia, sejarah pendakian gunung dimulai sejak tahun 1623
saat Yan Carstensz menemukan “Pegunungan sangat tinggi di beberapa tempat
tertutup salju” di Papua. Nama orang Eropa ini kemudian digunakan untuk
salah satu gunung di gugusan Pegunungan Jaya Wijaya yakni Puncak Cartensz. Pada
tahun 1786 puncak gunung tertinggi pertama yang dicapai manusia adalah puncak
Mont Blanc (4807 m) di Prancis. Lalu pada tahun 1852 Puncak Everest setinggi
8840 meter ditemukan. Orang Nepal menyebutnya Sagarmatha, atau Chomolungma menurut
orang Tibet. Puncak Everest berhasil dicapai manusia pada tahun 1953 melalui
kerjasama Sir Edmund Hillary dari. Selandia Baru dan Sherpa Tenzing Norgay
yang tergabung dalam suatu ekspedisi Inggris. Sejak saat itu, pendakian ke
atap-atap dunia pun semakin ramai.
Di Indonesia sejarah pecinta alam
dimulai dari sebuah perkumpulan yaitu “Perkumpulan Pentjinta Alam”(PPA).
Berdiri 18 Oktober 1953. PPA merupakan perkumpulan Hobby yang diartikan
sebagai suatu kegemaran positif serta suci,terlepas dari ‘sifat maniak’yang
semata-mata melepaskan nafsunya dalam corak negatif. Tujuan mereka adalah
memperluas serta mempertinggi rasa cinta terhadap alam seisinya dalam kalangan
anggotanya dan masyarakat umumnya. Sayang perkumpulanini tak berumur panjang.
Penyebabnya antara lain faktor pergolakan politik dan suasana yang belum
terlalu mendukung sehingga akhirnya PPA bubar di akhir tahun
1960. Awibowo adalah pendiri satu perkumpulan pencinta alam pertama di tanah air mengusulkan istilah pencinta alam karena cinta lebih dalam maknanya daripada gemar/suka yang mengandung makna eksploitasi belaka, tapi cinta mengandung makna mengabdi. “Bukankah kita dituntut untuk mengabdi kepada negeri ini?.” Sejarah pencinta alam kampus pada era tahun 1960-an. Pada saat itu kegiatan politik praktis mahasiswa dibatasi dengan keluarnya SK 028/3/1978 tentang pembekuan total kegiatan Dewan Mahasiswa dan Senat Mahasiswa yang melahirkan konsep Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Gagasan ini mula – mula dikemukakan Soe Hok Gie pada suatu sore, 8 Nopember 1964, ketika mahasiswa FSUI sedang beristirahat setelah mengadakan kerjabakti di TMP Kalibata. Sebenarnya gagasan ini, seperti yang dikemukakan Soe Hok Gie sendiri, diilhami oleh organisasi pencinta alam yang didirikan oleh beberapa orang mahasiswa FSUI pada tanggal 19 Agustus 1964 di Puncak gunung Pangrango. Organisasi yang bernama Ikatan Pencinta Alam Mandalawangi itu keanggotaannya tidak terbatas di kalangan mahasiswa saja. Semua yang berminat dapat menjadi anggota setelah melalui seleksi yang ketat. Sayangnya organisasi ini mati pada usianya yang kedua. Pada pertemuan kedua yang diadakan di Unit III bawah gedung FSUI Rawamangun, didepan ruang perpustakaan. Hadir pada saat itu Herman O. Lantang yang pada saat itu menjabat sebagai Ketua Senat Mahasiswa FSUI. Pada saat itu dicetuskan nama organisasi yang akan lahir itu IMPALA, singkatan dari Ikatan Mahasiswa Pencinta Alam. Setelah bertukar pikiran dengan Pembantu Dekan III bidang Mahalum, yaitu Drs. Bambang Soemadio dan Drs. Moendardjito yang ternyata menaruh minat terhadap organisasi tersebut dan menyarankan agar mengubah nama IMPALA menjadi MAPALA PRAJNAPARAMITA. Alasannya nama IMPALA terlalu borjuis. Nama ini diberikan oleh Bpk Moendardjito. Mapala merupakan singkatan dari Mahasiswa Pencinta Alam. Dan Prajnaparamita berarti dewi pengetahuan. Selain itu Mapala juga berarti berbuah atau berhasil. Jadi dengan menggunakan nama ini diharapkan segala sesuatu yang dilaksanakan oleh anggotanya akan selalu berhasil berkat lindungan dewi pengetahuan. Ide pencetusan pada saat itu memang didasari dari faktor politis selain dari hobi individual pengikutnya, dimaksudkan juga untuk mewadahi para mahasiswa yang sudah muak dengan organisasi mahasiswa lain yang sangat berbau politik dan perkembangannya mempunyai iklim yang tidak sedap dalam hubungannya antar organisasi.
1960. Awibowo adalah pendiri satu perkumpulan pencinta alam pertama di tanah air mengusulkan istilah pencinta alam karena cinta lebih dalam maknanya daripada gemar/suka yang mengandung makna eksploitasi belaka, tapi cinta mengandung makna mengabdi. “Bukankah kita dituntut untuk mengabdi kepada negeri ini?.” Sejarah pencinta alam kampus pada era tahun 1960-an. Pada saat itu kegiatan politik praktis mahasiswa dibatasi dengan keluarnya SK 028/3/1978 tentang pembekuan total kegiatan Dewan Mahasiswa dan Senat Mahasiswa yang melahirkan konsep Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Gagasan ini mula – mula dikemukakan Soe Hok Gie pada suatu sore, 8 Nopember 1964, ketika mahasiswa FSUI sedang beristirahat setelah mengadakan kerjabakti di TMP Kalibata. Sebenarnya gagasan ini, seperti yang dikemukakan Soe Hok Gie sendiri, diilhami oleh organisasi pencinta alam yang didirikan oleh beberapa orang mahasiswa FSUI pada tanggal 19 Agustus 1964 di Puncak gunung Pangrango. Organisasi yang bernama Ikatan Pencinta Alam Mandalawangi itu keanggotaannya tidak terbatas di kalangan mahasiswa saja. Semua yang berminat dapat menjadi anggota setelah melalui seleksi yang ketat. Sayangnya organisasi ini mati pada usianya yang kedua. Pada pertemuan kedua yang diadakan di Unit III bawah gedung FSUI Rawamangun, didepan ruang perpustakaan. Hadir pada saat itu Herman O. Lantang yang pada saat itu menjabat sebagai Ketua Senat Mahasiswa FSUI. Pada saat itu dicetuskan nama organisasi yang akan lahir itu IMPALA, singkatan dari Ikatan Mahasiswa Pencinta Alam. Setelah bertukar pikiran dengan Pembantu Dekan III bidang Mahalum, yaitu Drs. Bambang Soemadio dan Drs. Moendardjito yang ternyata menaruh minat terhadap organisasi tersebut dan menyarankan agar mengubah nama IMPALA menjadi MAPALA PRAJNAPARAMITA. Alasannya nama IMPALA terlalu borjuis. Nama ini diberikan oleh Bpk Moendardjito. Mapala merupakan singkatan dari Mahasiswa Pencinta Alam. Dan Prajnaparamita berarti dewi pengetahuan. Selain itu Mapala juga berarti berbuah atau berhasil. Jadi dengan menggunakan nama ini diharapkan segala sesuatu yang dilaksanakan oleh anggotanya akan selalu berhasil berkat lindungan dewi pengetahuan. Ide pencetusan pada saat itu memang didasari dari faktor politis selain dari hobi individual pengikutnya, dimaksudkan juga untuk mewadahi para mahasiswa yang sudah muak dengan organisasi mahasiswa lain yang sangat berbau politik dan perkembangannya mempunyai iklim yang tidak sedap dalam hubungannya antar organisasi.
Dalam
tulisannya di Bara Eka 13 Maret 1966, Soe mengatakan bahwa :
“Tujuan Mapala ini adalah mencoba untuk membangunkan kembali idealisme di kalangan mahasiswa untuk secara jujur dan benar-benar mencintai alam, tanah air, rakyat dan almamaternya. Mereka adalah sekelompok mahasiswa yang tidak percaya bahwa patriotisme itu masih ada yang lebih berwenang untuk menentukan hidup dan mati seseorang.MAPALA, Pencinta alam atau Petualang ? Dua nama, pencinta alam dan petualang seolah-olah merupakan satu kesatuan utuh yang tidak bisa di pisahkan antara keduanya. Namun kalau dilihat secara etimologi kata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia akan nampak kelihatan bahwa keduanya tidak ada hubungan satu sama lainnya. Dalam KBBI, pecinta (alam) ialah orang yang sangat suka akan (alam), sedangkan petualang ialah orang yang suka mencari pengalaman yang sulit-sulit, berbahaya, mengandung resiko tinggi dsb. Dengan demikian, secara etimologi jelas disiratkan dimana keduanya memiliki arah dan tujuan yang berbeda, meskipun ruang gerak aktivitas yang dipergunakan keduanya sama, alam. Dilain pihak, perbedaan itu tidak sebatas lingkup “istilah” saja, tetapi juga langkah yang dijalankan. Seorang pencinta alam lebih populer dengan gerakan enviromentalisme-nya, sementara itu, petualang lebih aktivitasnya lebih lekat dengan aktivitas-aktivitas Adventure-nya seperti pendakian gunung, pemanjatan tebing, pengarungan sungai dan masih banyak lagi kegiatan yang menjadikan alam sebagai medianya.
“Tujuan Mapala ini adalah mencoba untuk membangunkan kembali idealisme di kalangan mahasiswa untuk secara jujur dan benar-benar mencintai alam, tanah air, rakyat dan almamaternya. Mereka adalah sekelompok mahasiswa yang tidak percaya bahwa patriotisme itu masih ada yang lebih berwenang untuk menentukan hidup dan mati seseorang.MAPALA, Pencinta alam atau Petualang ? Dua nama, pencinta alam dan petualang seolah-olah merupakan satu kesatuan utuh yang tidak bisa di pisahkan antara keduanya. Namun kalau dilihat secara etimologi kata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia akan nampak kelihatan bahwa keduanya tidak ada hubungan satu sama lainnya. Dalam KBBI, pecinta (alam) ialah orang yang sangat suka akan (alam), sedangkan petualang ialah orang yang suka mencari pengalaman yang sulit-sulit, berbahaya, mengandung resiko tinggi dsb. Dengan demikian, secara etimologi jelas disiratkan dimana keduanya memiliki arah dan tujuan yang berbeda, meskipun ruang gerak aktivitas yang dipergunakan keduanya sama, alam. Dilain pihak, perbedaan itu tidak sebatas lingkup “istilah” saja, tetapi juga langkah yang dijalankan. Seorang pencinta alam lebih populer dengan gerakan enviromentalisme-nya, sementara itu, petualang lebih aktivitasnya lebih lekat dengan aktivitas-aktivitas Adventure-nya seperti pendakian gunung, pemanjatan tebing, pengarungan sungai dan masih banyak lagi kegiatan yang menjadikan alam sebagai medianya.
Kini
yang sering ditanyakan ketika kerusakan alam di negeri ini semakin parah,
dimanakah pencinta alam? begitupun dengan para petualang yang menggunakan alam
sebagai medianya. Bahkan Tak jarang aktivitas “mereka” berakhir dengan
terjadinya tindakan yang justru sangat menyimpang dari makna sebagai pecinta
alam, misalkan terjadinya praktek-paktek vandalisme. Inilah sebenarnya yang
harus di kembalikan tujuan dan arahnya sehingga jelas fungsi dan gerak
merekapun bukan hanya sebagai ajang hura-hura belaka. keberadaaan mereka belum
mencirikan kejelasan arah gerak dan pola pengembangan kelompoknya. Jangankan
mencitrakan kelompoknya sebagai pecinta alam, sebagai petualang pun tidak.
Aktivitas mereka cenderung merupakan aksi-aksi spontanitas yang terdorong atau
bahkan terseret oleh medan ego yang tinggi dan sekian image yang telah terlebih
dulu dicitrakan, dengan demikian banyak diantara para “pencinta alam” itu cuma
sebatas “gaya” yang menggunakan alam sebagai alat.
No comments:
Post a Comment