Batu Sangia dan Tangkeno, Wajah Eksotis Pulau Kabaena
Panorama Gunung Sabampolulu di Tangkeno,Kabaena yang eksotik. Semoga saja pemerintah dapat mewujudkan mimpi-mimpinya di wilayah ini. inzet, kepala desa Enano di Tangkeno, Majid Ege. [abdi/kp]
Digagas Jadi Desa Wisata, Tawarkan Kesejukan Alam
Dipercaya sebagai pusat kerajaan Kabaena di zaman dulu, Tangkeno kini nyaris tanpa perubahan luar biasa. Peradaban memang sudah mulai maju, tapi kondisi alamnya masih sejuk, teriknya matahari disapu oleh semilir angin gunung Sabampolulu yang menjulang di bagian timur kampung itu. Orisinilitas inilah yang jadi daya tarik Tangkeno.
Setelah menelusuri jejak-jejak beradaban dan kemolekan Gunung Batu Sangia di Tirongkotua, Kendari Pos memilih melanjutkan perjalanan menuju Kampung Tangkeno, yang tak kalah, bahkan jauh lebih elok. Mulailah melihat sisi uniknya Tangkeno dari cacatan administrasinya. Di dokumen kewilayahan, Tangkeno ini ditulis Desa Enano di Tangkeno. “Soalnya, ada juga Desa Tangkeno di Enano, letaknya di bagian utara kampung Tankeno ini, di bawah gunung,” cetus Firuddin, salah seorang guru di Tangkeno.
Urusan “tukaran nama” desa ini, seperti penuturan Kepala Desa Enano di Tangkeno, Abd Majid Ege, bermula ketika tiga kampUng di Kabaena, yakni Tangkeno, Enano dan Lengora bersatu dalam sebuah konsep pemerintahan bernama desa gabungan, saat masih pertama kali bergabung dengan Kabupaten Buton. Pusat pemerintahannya di Kampung Enano. Setelah itu, ada usulan untuk memisahkan konsep desa gabungan ini, menjadi desa definitife, meski tetap berisi tiga kampung itu.
“Masalahnya, saat SK desa ini terbit, pemerintah menulis ibukotanya itu di Tangkeno ini. Padahal kan harusnya di Enano. Karena orang Tangkeno dan Lengora tak ada yang mau jadi Kades, maka kepala desa gabungan yang tinggal di Enano, ditunjuk kembali. Tapi beliau tidak mau membangun kantor desa di Tangkeno, maunya tetap di Enano. Padahal, nama desa yang ditetapkan itu Desa Tangkeno,” Majid Ege, mengisahkan.
Makanya, kepala desa yang ditunjuk itu dalam persuratan desanya, menulis Desa Tangkeno di Enano. Dalam perjalanannya kemudian, baik Lengora, Tangkeno maupun Enano akhirnya terpisah menjadi desa sendiri. Lucunya, “stempel” Desa Tangkeno di Enano, tak mau dilepas masyarakat Enano, hingga sekarang. “Makanya, kami akhirnya memilih jadi Desa Enano di Tangkeno, sampai sekarang masih banyak orang bingung. Bahkan bantuan pemerintah kadang-kadang dicurigai turun di satu tempat, ya itu di Tangkeno maupun di Enano,” tambah sang Kades.
Tapi seperti kata penyair asal Inggris, William Shakespeare, apalah arti sebuah nama, karena Mawar itu pasti harum meski bukan Mawar namanya. Tangkeno pun demikian, apapun sebutanya, sama sekali tidak mengurangi kemolekannya sebagai sebuah perkampungan gunung yang menawarkan kesejukan alam, hutan-hutan yang masih hijau, penduduk yang ramah dan tentu saja berbagai jejak sejarah yang menjadi peneguhannya sebagai sebuah daerah bermukimnya para petinggi daerah itu, di zamannya.
Karena kemolekannya itulah, Pemkab Bombana menetapkan Tangkeno sebagai daerah wisata gunung. Bupati Bombana, H Tafdil mengatakan, di Sultra sudah ada Wakatobi yang tenar dengan wisata baharinya, ada juga Kota Kendari yang punya banyak kawasan wisata pantai. “Tapi belum ada daerah yang menawarkan wisata gunung kan…Makanya, setelah saya berkunjung ke Tangkeno, saya menggangas desa wisata, dan akan ada alokasi anggaran untuk membangun berbagai infrastruktur pendukungnya,” kata Tafdil, beberapa waktu lalu.
Kelayakan Tangkeno sebagai sebuah desa wisata tak perlu diragukan. Di wilayah dengan penduduk tak lebih dari 370 jiwa tersebut, dan berada di ketinggian, sejauh mata memandang, hampir seluruh wilayah Pulau Kabaena, akan terlihat. Hamparan laut yang biru, Pulau Sagori yang indah di barat laut. Kebun-kebun penduduk yang tertata rapi, keramahan penduduknya. “Kalau siang tetap sejuk, kalau malam lumayan dingin. Potret desa pegunungan,” kata Kades Enano di Tangkeno, Abd Majid Ege.
Sektor pertambangan yang kini mulai mengusik ketenangan penduduk Kabaena, dengan tawaran kemewahan bagi pengusaha dan pejabat desanya, sama sekali tak membuat Majid Ege tertarik. Ia lebih suka wajah Tangkeno yang asli, tak ada aktivitas pertambangan. Apalagi, potensi kerusakan yang sangat besar bagi daerah yag dikelola pertambangan, menjadi pertimbangan serius sang pimpinan untuk menolak. Alasan utamanya, jikalau Tangkeno sudah dirusak, maka apalagi yang asli di Kabaena.
Kepala Lembaga Adat (LAT) itu sebenarnya merasa senang sekaligus galau dengan ide desa wisata di kampung yang dipimpinnya. Ia senang karena dengan desa wisata itu, maka akan banyak wisatawan yang berkunjung dan tentu saja infrastrukturnya bakal dibenahi. “Tapi saya juga takut tidak bisa mewujudkan keinginan pemerintah, menyiapkan penduduk saya untuk bisa beradaptasi dengan suasana kunjungan wisatawan suatu saat nanti,” katanya.
Tangkeno ternyata sudah jamak dengan wisatawan. Kata Kades Enano, daerahnya itu setiap tahun selalu dikunjungi wisatawan asing, dari Belanda dan Inggris, dengan jumlah yang banyak. Para pelancong itu mendapatkan literature soal Tangkeno di perpustakaan dunia di Belanda, yang menerangkan tentang keasliannya. Para wisatawan itu ingin tahu seperti apa sebenarnya itu hutan, sungai dan semua tentang alam yang perawan. “Agaknya, di Inggris sana sudah tidak ada lagi hutan seperti di Tangkeno ini, di Tangkeno mereka dengan senang, berbaring di rumput, merasakan kesejukan alam. Mandi di sungai,” tukas Majid Ege, sembari terkekeh.
Bahkan, belum lama ini, saat sekelompok orang asal Inggris berkunjung ke Tangkeno, diadakan pertandingan sepakbola yang kemudian terkenal dengan tajuk…Inggris Vs Tangkeno, yang digelar di sebuah lapangan bola dengan tekstur tanah tak rata di kampung itu . Meski tim lokal kemudian kalah, 1-6, mereka tetap bangga karena timnas Indonesia sekalipun, belum pernah melawan Inggris, tapi orang Tangkeno pernah merasakan atmosfir bertanding melawan orang asing.
Kelak, jika kemudian desa wisata itu terwujud, ia berharap agar Tangkeno bisa punya akses-akses kehidupan yang memudahkan kemajuan penduduk. Jalan yang mengarah ke Tangkeno sudah pasti akan dimuluskan, fasilitas lain juga pasti disiapkan. Masyarakat tentu saja akan punya pekerjaan tambahan. Apalagi nanti, salah satu konsep desa wisata adalah pembukaan perkebunan berkonsep agrowisata.
“Kami sudah menyiapkan lahan yang luas untuk tanaman bernilai ekonomi tinggi seperti buah-buahan,” terang Majid Ege yang ditemui Kendari Pos dengan sedikit perjuangan karena sedang berada di ladang yang baru ia buka, sekitar dua kilometer dari kampung. Itupun harus mendaki berjalan kaki. Kelak, penduduk setempat berharap untuk bisa dikembangkan tanaman alpukat. Selain bernilaio ekonomi tinggi, juga cepat berbuah. Di Tangkeno, kebetukan ada pohon alpukat yang tumbuh tanpa dirawat, tapi sangat lebat buahnya.
Sebagai langkah awal mendukung gagasan desa wisata, warga setempat sudah mendirikan sebuah balai mirip tempat pertemuan yang kelak dipakai sebagai tempat belajar anak atau siapapun yang ingin mengetahui sejarah Tangkeno dan Kabaena. Bangunan yang didirikan dengan swadaya itu namanya adalah “Bantea Mpogurua” atau tempat belajar. Tak ada bantuan pemerintah sama sekali untuk mendirikan bangunan tersebut.
“Disini, kami masih punya semangat gotong royong yang tinggi. Bahkan, kami buatkan Peraturan Desa (Perdes) soal ini. Tiap Rabu, kerja bakti itu dilakukan para pria, dan Minggu oleh perempuan. Mereka yang tidak datang, disepekati akan membayar denda Rp 10 ribu,” kata Majid Ege. Tapi, rutinitas Rabu dan Minggu itu tidak selalu dilakukan setiap pekan, tapi jika memang ada pekerjaan besar dalam kampung yang memerlukan tenaga besar. Itupun waktunya, jika sudah menunaikan kewajiban utama yakni mencari nafkah.
Selain kearifan lokal, budaya, sejarah dan kemolekan alamnya, Tangkeno juga punya sejumlah situs yang meneguhkan Tangkeno pernah menjadi pusat peradaban di Kabaena. Di pinggiran kampung, ada lima benteng batu yang dipercaya pernah menjadi lokasi perlindungan penduduk dari serangan musuh. Lima benteng itu adalah benteng Tuntuntari, benteng Tawulagi, benteng Tondowatu, benteng Doule dan benteng Ewolangka. (bersambung)
- See more at: http://www.sultrakini.com/wisata/berita-321-batu-sangia-dan-tangkeno-wajah-eksotis-pulau-kabaena-3.html#sthash.tbxZgSAp.dpuf
No comments:
Post a Comment